
Hukum Kewarisan dalam Perdata (BW)
1. Pengertian Kewarisan
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal
dunia, bagaimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara
adil dan sempurna.
Wirdjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
mengatakan bahwa “hukum waris adalah hukum –hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang
masih hidup”.
Pengertian waris timbul karena adanya kematian yang terjadi pada anggota
keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang meninggal itu
mempunyai harta kekayaan. Maka, yang menjadi persoalan bukanlahperistiwa
kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal.
Dengan demikian jelas, waris itu disatu sisi berakar pada keluarga karena
menyangkut siapa yang menjadi ahli waris dan berakar pada harta kekayaan karena
menyangkut waris atas harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Dalam pengertian
waris, yaitu anggota keluarga yang meninggal dan anggota yang ditinggalkannya
atau yang diberi wasiat oleh almarhum. Peristiwa kematian yang menjadi penyebab
timbulnya pewaris kepada ahli waris. Obyek waris adalah harta yang ditinggalkan
oleh almarhum. Jika disimpulkan, maka Hukum Waris adalah peristiwa hukum yang
mengatur tentang beralihnya warisan dari peristiwa karena kematian kepada ahli
waris atau orang yang ditunjuk. Adapun ini adalah istilah-istilah yang
dipergunakan dalam kewarisan perdata:
Ø Pewaris: adalah orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan.
Ø Ahli waris: adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia menggantikan
kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.
Ø Hukum waris: adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi
dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, mengatur peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang ysng meninggal, serta
akibat-akibatnya bagi para ahli waris.
Ø Harta warisan: adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang
ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang
berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris disebut boedel.
Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 830
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian”, pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut adalah,
bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih
atau berpindah kepada ahli warisnya. Sehingga dalam hal ini pewarisan akan
terjadi, bila terpenuhinya tiga persyaratan, yaitu :
§ Ada seseorang yang meninggal dunia.
§ Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia.
§ Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggal pewaris.
§ Ada seseorang yang meninggal dunia.
§ Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia.
§ Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggal pewaris.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menetapkan tertib keluarga yang berhak
menjadi ahli waris, yaitu suami atau isteri yang ditinggalkan dan keluarga sah
atau tidak sah dari pewaris, menurut Undang-Undang ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
a. Sebagai ahli waris menurut Undang-Undang (ab intestato).
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).
Adapun menurut yang lain, ahli waris dapat dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
a. Golongan Pertama, yaitu sekalian anak beserta keturunannya dalam garis
keturunannya lancang ke bawah. Dalam Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan:“Anak-anak atau sekalian mereka biar dilahirkan dari
lain-lain perkawinan sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua, kakek, nenek,
atau semua keluarga sedarah antara laki-laki ataupun perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran terlebih dahulu, mereka mewarisi kepala demi mereka. Jika
dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewarisi pancang demi
pancang. Jika sekalian atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai
pengganti”.
b. Golongan Kedua, yaitu orang tua dan saudara-saudara pewaris pada dasarnya
bagi orang tua disamakan dengan saudara-saudara pewaris tetapi ada jaminan
dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari ¼ (seperempat) harta
peninggalan.
c. Golongan Ketiga, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 853 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yaitu:“Apabila si meninggal tidak meningglakan keturunan maupun
suami-isteri, maupun saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan
dalam Pasal 859 warisannya harus dibagi dalam bagian yang sama, ialah satu
untuk bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke atas dan
bagian untuk sekalian keluarga yang sama dalam garis seibu. Waris yang terdekat
derajat dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian dalam garis,
dengan mengesampingkan segala waris lainnya, semua keluarga dalam garis lurus
ke atas dalam derajat yang sama mendapat bagian mereka kepala demi kepala.”
Sedangkan dalam Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, yaitu:“Apabila seseorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami-isteri, sedang bapak ibunya masih hidup, maka dari mereka mendapatkan sepertiga dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki ataupun perempuan yang mana mendapatkan sepertiga, selebihnya si bapak dan si ibu masing-masing mendapatkan seperempat, jika si meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki ataupun perempuan, dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki-laki ataupun perempuan”.
Sedangkan dalam Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, yaitu:“Apabila seseorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami-isteri, sedang bapak ibunya masih hidup, maka dari mereka mendapatkan sepertiga dari warisan jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki ataupun perempuan yang mana mendapatkan sepertiga, selebihnya si bapak dan si ibu masing-masing mendapatkan seperempat, jika si meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki ataupun perempuan, dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki-laki ataupun perempuan”.
d. Golongan Keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke sampaing dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Ruang Lingkup Kewarisan Hukum
Perdata
Dalam sistematika kitab Undang-Undang HukumPerdata (BW) hak dan kewajiban di bidang-bidang kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata tentang benda,dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan. Terhadap ketentuan tersebut di atas, ternyata ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih, misalnya:
ü Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang
sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat pribadi,
mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris. Contoh: hubungan
kerja pelukis, pematung, sebagaimana diatur dalam pasal 1601 dan pasal 1318
KUHPerdata.
ü Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam pasal 1646 ayat (4) KUHPerdata.
ü Pemberian kuasa berakhir dengan meinggalnya orang yang memberi kuasa, diatur dalam pasal 1813 KUHPerdata.
ü Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang dibawah kekuasaan orangtua atau dibawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur dalam pasal 314 KUHPerdata.
ü Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur dalam pasal 807 KUHPerdata.
Dalam sistematika kitab Undang-Undang HukumPerdata (BW) hak dan kewajiban di bidang-bidang kekayaan adalah hak dan kewajiban yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata tentang benda,dan buku ke III KUHPerdata tentang perikatan. Terhadap ketentuan tersebut di atas, ternyata ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih, misalnya:
ü Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam pasal 1646 ayat (4) KUHPerdata.
ü Pemberian kuasa berakhir dengan meinggalnya orang yang memberi kuasa, diatur dalam pasal 1813 KUHPerdata.
ü Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang dibawah kekuasaan orangtua atau dibawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur dalam pasal 314 KUHPerdata.
ü Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur dalam pasal 807 KUHPerdata.
Sebaliknya ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga yang ternyata
dapat diwariskan, misalnya:
ü Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat dilanjutkan oleh
para ahli warisnya, sebagaimana diatur dalam pasal257 jo. Pasal 252jo. Pasal
259 KUHPerdata.
ü Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya,
kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang
sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur
dalam pasal 269, 270, dan pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan
bahwa seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan
sebagai anak sah.
Tempat Pengaturan Hukum Waris dalam
KUHPerdata
Hukum waris ditempatkan dalam buku II KUHPerdata (tentang benda), dengan alasan:
ü Hak mawaris diidentikan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam pasal 528 KUHPerdata.
ü Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan dalam pasal 584 KUHPerdata.
Hukum waris ditempatkan dalam buku II KUHPerdata (tentang benda), dengan alasan:
ü Hak mawaris diidentikan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam pasal 528 KUHPerdata.
ü Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan dalam pasal 584 KUHPerdata.
Penempatan hukum waris dalam buku II KUHPerdata tersebut di atas, menimbulkan
reaksi dikalangan para ahli hukum. Para ahli hukum berpendapat, bahwa dalam
hukum mawaris tidak hanya terdapat aspek hukum benda saja, tetapi terdapat juga
aspek-aspek yang lainnya, meskipun tiak dapat disangkal bahwa sebenarnya hukum
waris termasuk dalam hukum harta. Aspek-aspek hukum lainnya yang terkait
adalah:
§ Aspek hukum harta kekayaan, tentang perikatan harta peninggalan selain berupa
hak hak kebendaan yang nyata ada, dapat juga berupa tagihan-tagihan atau
piutang-piutang dan dapat dapat juga berupa sejumlah utang-utang yang
melibatkan pihak ketiga (hak perorangan).
§ Aspek hukum keluarga, pada pewarisan menurut Undang-Undang syarat utama untuk
tampil sebagai ahli waris adalah adanya hubungandarah. Hal ini berarti terkait
dengan aspek hukum keluarga.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, para ahli hukum berpendapat, untuk menetapkan hukum waris sebagai bagian yang terpisah atau buku tersendiri, tidak diatur dalam hukum benda (buku IIKUHPerdata).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, para ahli hukum berpendapat, untuk menetapkan hukum waris sebagai bagian yang terpisah atau buku tersendiri, tidak diatur dalam hukum benda (buku IIKUHPerdata).