x9iXyGPMXQeKKlpX8lac8UjwJ5Wv9XduLyNcwRkJ

Mengapa mata uang Rupiah memiliki denominasi yang lebih banyak?

Sejarah Rupiah
Mengapa mata uang Rupiah memiliki denominasi yang lebih banyak?
Tahukah kamu kalau nilai mata uang Indonesia pernah hanya sebesar 1,60 per dolar AS? Lantas kenapa sekarang nilainya menjulang sampai belasan ribu?? Sebagian besar orang bertanya-tanya kenapa nilai rupiah begitu rendah sampai-sampai mempunyai banyak digit sampai ratusan ribu dalam nominalnya, padahal kebanyakan negara hanya mempunyai ratusan saja sebagai nilai uang tertinggi.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya 

Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus kembali ke sejarah awal penerbitan uang di Indonesia.

Mata uang Rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang pernah berlaku di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Sriwijaya, dan Majapahit telah mengenal dan menggunakan berbagai tipe "uang" yang umumnya berupa logam. Setelah kedatangan penjajah di Indonesia pun, Indonesia telah mengenal berbagai macam mata uang, termasuk Sen dan Gulden yang diterbitkan oleh De Javasche Bank khusus untuk dipergunakan di Hindia Belanda (Indonesia saat itu).
Gambar dua lembar uang kertas diatas termasuk beberapa uang yang pernah beredar di Indonesia saat masa penjajahan Belanda yang pertama. Setelah tentara Jepang mengambil alih menduduki Indonesia tahun 1942, pemerintah Jepang di Indonesia berusaha menarik mata uang terbitan Belanda tersebut dari peredaran dan menyusun bank Nanpo Kaihatsu Ginko yang mencetak uang mereka sendiri, walaupun masih dalam bahasa Belanda, yang disebut "Gulden Hindia Belanda".
Menjelang akhir pendudukan Jepang, sebagai bagian dari upaya menarik hati masyarakat Indonesia, Jepang mencetak lagi uang baru berbahasa Indonesia yang dinamakan "Rupiah Hindia Belanda". Namun karena situasi ekonomi dan politik saat itu yang kacau, maka baik uang Gulden terbitan pemerintah Hindia Belanda, Gulden terbitan Jepang, maupun Rupiah Hindia Belanda, semuanya masih digunakan oleh masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kondisi semakin parah setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia dan berusaha menduduki Indonesia kembali. Tentara Sekutu yang juga dikenal sebagai Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menarik Gulden Hindia Belanda yang dicetak sebelum pendudukan Jepang dan mulai menerbitkan uangnya sendiri di Indonesia Timur yang banyak disebut sebagai "Gulden NICA" atau uang NICA.
Perhatikan bahwa Uang NICA terbitan tahun 1943 tersebut menampilkan gambar Ratu Wilhelmina, (Kepala Negara Belanda saat itu), lambang kerajaannya, serta dicetak dalam bahasa Belanda. Karena karakter uang yang demikian, maka para pejuang kemerdekaan menolak uang tersebut. Ketika uang NICA itu mulai masuk ke wilayah pulau Jawa, Bung Karno segera mendeklarasikan bahwa uang NICA itu ilegal. Uang terbitan Jepang pun saat itu masih jadi pilihan alat pembayaran untuk digunakan di Jawa dan Sumatera.

Akibat Uang NICA tersebut, pemerintah Indonesia yang baru lahir berkat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 mulai mengambil langkah-langkah untuk menerbitkan uang sendiri. Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencetak uang tidaklah kecil. Selain itu, tentara Sekutu berusaha menyerang pabrik percetakannya guna mencegah penerbitan uang tersebut.

Setelah melampaui perjuangan berat, pemerintah Indonesia akhirnya berhasil merilis uang pertamanya pada 3 Oktober 1946, dikenal juga sebagai "Oeang Republik Indonesia", atau ORI. Saat itu dideklarasikan bahwa semua uang terbitan Jepang harus ditukar dengan ORI hingga tanggal 30 Oktober di tahun yang sama. Standar nilai tukarnya ditetapkan dengan patokan 50 Rupiah Hindia Belanda = 1 ORI. Pemerintah juga menyatakan bahwa satu ORI memiliki nilai setara dengan 0,5 gram Emas. Rupiah Hindia Belanda yang masih beredar setelah bulan Oktober dinyatakan tidak berlaku lagi.

Setelah penerbitan ORI, maka mata uang yang resmi menjadi alat pembayaran di Nusantara ada dua, yaitu uang NICA dan uang ORI. Namun demikian, di lokasi-lokasi tertentu yang relatif sulit dijangkau, uang Jepang masih cukup banyak digunakan. Oleh karena jangkauan pemerintah yang baru juga terbatas, maka pemerintah Indonesia mengijinkan daerah-daerah tertentu untuk menerbitkan uangnya sendiri. Uang-uang tersebut nantinya dapat ditukarkan dengan uang ORI setelah situasi dan kondisi memungkinkan.

Namun ORI saat itu sudah mulai bermasalah karena finansial yang buruk membuat pemerintah Indonesia yang baru mencetak semakin banyak uang guna menambah isi kas negara. Suplai uang yang terlalu banyak berakibat pada inflasi yang merajalela dan merosotnya nilai tukar ORI dari 5 Gulden NICA pada awal penerbitannya ke 0,3 Gulden NICA pada bulan Maret 1947.

Pada bulan November 1949, Konferensi Meja Bundar mengakui kemerdekaan Indonesia dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera, beserta 15 negara kecil lainnya di Nusantara. Pada periode ini, RIS menyadari bahwa berbagai macam mata uang yang beredar di masyarakat mengacaukan perekonomian. Betapa tidak, saat itu ada ORI, uang NICA, uang Jepang, uang Belanda sebelum pendudukan Jepang, juga uang yang diterbitkan oleh daerah-daerah tertentu secara terpisah.

RIS berusaha mengontrol kondisi ini dengan mengumumkan pelaksanaan Gunting Syafruddin pada 19 Maret 1950. Selain itu, RIS juga sempat mencetak uang sendiri, tetapi pendeklarasian formal kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950 membuat uang RIS jadi berumur pendek.

Setelah kelahiran NKRI, Pemerintah berupaya untuk menghapuskan pengaruh Belanda dalam sistem keuangan Indonesia. Upaya pertama yang dilakukan adalah dengan menggantikan mata uang terbitan Belanda berdenominasi rendah dengan koin Rupiah pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen, serta penerbitan uang kertas 1 dan 2 1/2 Rupiah.

Selanjutnya, Pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank yang merupakan bank sentral RIS menjadi Bank Indonesia. Di tahun 1952-1953, Bank Indonesia mulai merilis uang kertas baru, mulai dari 1 Rupiah hingga 100 Rupiah. Ini menandai periode baru dalam sejarah Rupiah, dimana penerbitan dan peredaran uang kertas Rupiah kini menjadi tugas Bank Indonesia, sedangkan uang koin masih ditangani oleh Pemerintah secara terpisah.

Sayangnya, perilisan uang baru Bank Indonesia tidak mampu menyelesaikan keruwetan perekonomian Indonesia. Inflasi terus membubung tinggi dan nilai tukar Rupiah pun merosot dengan cepat. Pada Maret 1950, nilai tukar Rupiah adalah 1,60 per Dolar AS, namun dalam waktu kurang dari sepuluh tahun sudah naik ribuan persen menjadi 90 per Dolar AS pada Desember 1958.

Kondisi ekonomi tersebut mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendevaluasi Rupiah pada tahun 1959. Upaya tersebut lagi-lagi gagal, dan Rupiah kembali di-devaluasi beberapa tahun kemudian. Namun Rupiah masih tak terkendali, hingga pemerintahan Orde Baru dibawah presiden Suharto berhasil menstabilkan nilainya.

Mulai masa Orde Baru, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mencetak dan menerbitkan uang, baik dalam bentuk koin maupun uang kertas, serta mengatur peredarannya di Indonesia.
Begitulah sejarah kenapa nilai mata uang Indonesia bisa sampai mempunyai banyak digit. Keadaan diperparah pada krisis keuangan tahun 1998 yang membuat nilai rupiah mencapai hampir Rp20.000 per dolar AS. Tapi untungnya ekonomi dan nilai mata uang Indonesia kembli stabil di jaman SBY, bahkan saya sempat ingat rupiah pernah mencapai hanya Rp9.000, namun sayangnya naik lagi lebih parah mencapai Rp13.000 menjelang berakhirnya periode SBY. Dan sekarang pun nilai mata uang Indonesia semakin meningkat lagi akibat inflasi, walaupun setiap waktunya meningkat sedikit demi sedikit, tapi paling tidak masih terkendali.