Mengapa mata
uang Rupiah memiliki denominasi yang lebih banyak?

Tahukah kamu
kalau nilai mata uang Indonesia pernah hanya sebesar 1,60 per dolar AS? Lantas
kenapa sekarang nilainya menjulang sampai belasan ribu?? Sebagian besar orang bertanya-tanya
kenapa nilai rupiah begitu rendah sampai-sampai mempunyai banyak digit sampai
ratusan ribu dalam nominalnya, padahal kebanyakan negara hanya mempunyai
ratusan saja sebagai nilai uang tertinggi.
Untuk menjawab
pertanyaan ini, tentunya kita harus kembali ke sejarah awal penerbitan uang di
Indonesia.
Mata uang Rupiah
bukanlah satu-satunya mata uang yang pernah berlaku di Indonesia.
Kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Sriwijaya, dan Majapahit telah mengenal dan
menggunakan berbagai tipe "uang" yang umumnya berupa logam. Setelah
kedatangan penjajah di Indonesia pun, Indonesia telah mengenal berbagai macam
mata uang, termasuk Sen dan Gulden yang diterbitkan oleh De Javasche Bank khusus
untuk dipergunakan di Hindia Belanda (Indonesia saat itu).

Gambar
dua lembar uang kertas diatas termasuk beberapa uang yang pernah beredar di
Indonesia saat masa penjajahan Belanda yang pertama. Setelah tentara Jepang
mengambil alih menduduki Indonesia tahun 1942, pemerintah Jepang di Indonesia
berusaha menarik mata uang terbitan Belanda tersebut dari peredaran dan
menyusun bank Nanpo Kaihatsu Ginko yang mencetak uang mereka sendiri, walaupun
masih dalam bahasa Belanda, yang disebut "Gulden Hindia Belanda".

Menjelang akhir
pendudukan Jepang, sebagai bagian dari upaya menarik hati masyarakat Indonesia,
Jepang mencetak lagi uang baru berbahasa Indonesia yang dinamakan "Rupiah
Hindia Belanda". Namun karena situasi ekonomi dan politik saat itu yang kacau,
maka baik uang Gulden terbitan pemerintah Hindia Belanda, Gulden terbitan
Jepang, maupun Rupiah Hindia Belanda, semuanya masih digunakan oleh masyarakat
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kondisi semakin
parah setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia dan berusaha menduduki
Indonesia kembali. Tentara Sekutu yang juga dikenal sebagai Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) menarik Gulden Hindia Belanda yang dicetak sebelum
pendudukan Jepang dan mulai menerbitkan uangnya sendiri di Indonesia Timur yang
banyak disebut sebagai "Gulden NICA" atau uang NICA.

Perhatikan bahwa
Uang NICA terbitan tahun 1943 tersebut menampilkan gambar Ratu Wilhelmina,
(Kepala Negara Belanda saat itu), lambang kerajaannya, serta dicetak dalam
bahasa Belanda. Karena karakter uang yang demikian, maka para pejuang
kemerdekaan menolak uang tersebut. Ketika uang NICA itu mulai masuk ke wilayah
pulau Jawa, Bung Karno segera mendeklarasikan bahwa uang NICA itu ilegal. Uang
terbitan Jepang pun saat itu masih jadi pilihan alat pembayaran untuk digunakan
di Jawa dan Sumatera.
Akibat Uang NICA
tersebut, pemerintah Indonesia yang baru lahir berkat proklamasi tanggal 17
Agustus 1945 mulai mengambil langkah-langkah untuk menerbitkan uang sendiri.
Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencetak uang tidaklah kecil.
Selain itu, tentara Sekutu berusaha menyerang pabrik percetakannya guna
mencegah penerbitan uang tersebut.
Setelah
melampaui perjuangan berat, pemerintah Indonesia akhirnya berhasil merilis uang
pertamanya pada 3 Oktober 1946, dikenal juga sebagai "Oeang Republik
Indonesia", atau ORI. Saat itu dideklarasikan bahwa semua uang terbitan
Jepang harus ditukar dengan ORI hingga tanggal 30 Oktober di tahun yang sama.
Standar nilai tukarnya ditetapkan dengan patokan 50 Rupiah Hindia Belanda = 1
ORI. Pemerintah juga menyatakan bahwa satu ORI memiliki nilai setara dengan 0,5
gram Emas. Rupiah Hindia Belanda yang masih beredar setelah bulan Oktober
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Setelah
penerbitan ORI, maka mata uang yang resmi menjadi alat pembayaran di Nusantara
ada dua, yaitu uang NICA dan uang ORI. Namun demikian, di lokasi-lokasi
tertentu yang relatif sulit dijangkau, uang Jepang masih cukup banyak
digunakan. Oleh karena jangkauan pemerintah yang baru juga terbatas, maka
pemerintah Indonesia mengijinkan daerah-daerah tertentu untuk menerbitkan
uangnya sendiri. Uang-uang tersebut nantinya dapat ditukarkan dengan uang ORI
setelah situasi dan kondisi memungkinkan.
Namun ORI saat
itu sudah mulai bermasalah karena finansial yang buruk membuat pemerintah
Indonesia yang baru mencetak semakin banyak uang guna menambah isi kas negara.
Suplai uang yang terlalu banyak berakibat pada inflasi yang merajalela dan
merosotnya nilai tukar ORI dari 5 Gulden NICA pada awal penerbitannya ke 0,3
Gulden NICA pada bulan Maret 1947.
Pada bulan
November 1949, Konferensi Meja Bundar mengakui kemerdekaan Indonesia dalam
kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas Indonesia yang
meliputi Jawa dan Sumatera, beserta 15 negara kecil lainnya di Nusantara. Pada
periode ini, RIS menyadari bahwa berbagai macam mata uang yang beredar di
masyarakat mengacaukan perekonomian. Betapa tidak, saat itu ada ORI, uang NICA,
uang Jepang, uang Belanda sebelum pendudukan Jepang, juga uang yang diterbitkan
oleh daerah-daerah tertentu secara terpisah.
RIS berusaha
mengontrol kondisi ini dengan mengumumkan pelaksanaan Gunting Syafruddin pada
19 Maret 1950. Selain itu, RIS juga sempat mencetak uang sendiri, tetapi
pendeklarasian formal kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1950 membuat uang RIS jadi berumur pendek.
Setelah
kelahiran NKRI, Pemerintah berupaya untuk menghapuskan pengaruh Belanda dalam
sistem keuangan Indonesia. Upaya pertama yang dilakukan adalah dengan
menggantikan mata uang terbitan Belanda berdenominasi rendah dengan koin Rupiah
pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen, serta penerbitan uang kertas 1 dan 2 1/2
Rupiah.
Selanjutnya,
Pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank yang merupakan bank sentral RIS
menjadi Bank Indonesia. Di tahun 1952-1953, Bank Indonesia mulai merilis uang
kertas baru, mulai dari 1 Rupiah hingga 100 Rupiah. Ini menandai periode baru
dalam sejarah Rupiah, dimana penerbitan dan peredaran uang kertas Rupiah kini
menjadi tugas Bank Indonesia, sedangkan uang koin masih ditangani oleh
Pemerintah secara terpisah.
Sayangnya,
perilisan uang baru Bank Indonesia tidak mampu menyelesaikan keruwetan
perekonomian Indonesia. Inflasi terus membubung tinggi dan nilai tukar Rupiah
pun merosot dengan cepat. Pada Maret 1950, nilai tukar Rupiah adalah 1,60 per
Dolar AS, namun dalam waktu kurang dari sepuluh tahun sudah naik ribuan persen
menjadi 90 per Dolar AS pada Desember 1958.
Kondisi ekonomi
tersebut mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendevaluasi Rupiah pada tahun
1959. Upaya tersebut lagi-lagi gagal, dan Rupiah kembali di-devaluasi beberapa
tahun kemudian. Namun Rupiah masih tak terkendali, hingga pemerintahan Orde
Baru dibawah presiden Suharto berhasil menstabilkan nilainya.
Mulai masa Orde
Baru, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mencetak dan menerbitkan uang,
baik dalam bentuk koin maupun uang kertas, serta mengatur peredarannya di
Indonesia.

Begitulah
sejarah kenapa nilai mata uang Indonesia bisa sampai mempunyai banyak digit.
Keadaan diperparah pada krisis keuangan tahun 1998 yang membuat nilai rupiah
mencapai hampir Rp20.000 per dolar AS. Tapi untungnya ekonomi dan nilai mata
uang Indonesia kembli stabil di jaman SBY, bahkan saya sempat ingat rupiah
pernah mencapai hanya Rp9.000, namun sayangnya naik lagi lebih parah mencapai
Rp13.000 menjelang berakhirnya periode SBY. Dan sekarang pun nilai mata uang
Indonesia semakin meningkat lagi akibat inflasi, walaupun setiap waktunya
meningkat sedikit demi sedikit, tapi paling tidak masih terkendali.