TINDAK
PIDANA (STRAFBAAR FEIT)
Pengertian Tindak Pidana (strafbaar feit)
Menurut teori dan hukum positif, J.E Jonkers juga
telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan,
sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu :
a.
Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang.
b.
Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar
feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan
sengaja atau alfa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan.
Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan
bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan
Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak
dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.
Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan
pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara
tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam
dianggap ada.
Rumusan Tindak Pidana
Simons dalam Roni Wiyanto mendefinisikan
tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana
oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan
kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Rumusan
pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap
karena akan meliputi :
1.
Diancam dengan pidana oleh hukum
2.
Bertentangan dengan hukum
3.
Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4.
Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Van
Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi
menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi,
pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai
berikut :[6]
1.
Diancam dengan pidana oleh hukum
2.
Bertentangan dengan hukum
3.
Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4.
Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
5.
Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.
KAUSALITAS
HUKUM PIDANA
Teori Tentang Kausalitas Hukum Pidana:
1. Teori condition sine quanon (teori
syarat mutlak) dari Van Buri
Menurut teori ini tiap syarat adalah
sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada,
maka akibat akan lain pula. Tiap syarat baik positif maupun negative untuk
timbulnya sutu akibat adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu
syarat dihilangkan tidak akan mungkin terjadi suatu akibat konkret, seperti
yang senyata-nyatanya menurut waktu tempat dan keadaan. Tidak ada syarat yang
dapat dihilangkan tampa menyebabkan berubahnya akibat.
2. Teori dari Traeger
Traeger memberi ajaran yang berlainan
sekali dengan ajaran Van Buri. Ia mengatakan perbedaan antara
rangkaian-rangkaian perbuatan itu harus dicari yang manakah yang menimbulkan
akibat yang dilarang dan ancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Menurut
ajaran ini, maka ia tidak menganggap rangkaian perbuatan itu sebagai syarat
daripada timbulnya akibat, akan tetapi ia membedakan syarat dan alas an, dimana
untuk mencari satu masalah tersebut traeger mengemukakan dua teori :
1) Teori
yang mengindividualisir adalah dalam mencari, satu masalah dari rangkaian
perbuatan tersebut, maka didasarkan pada keadaan yang nyata yang menyebabkan
akibat yang timbul. Jadi ajaran ini mendasarkan pada in concreto.
2) Teori
yang menggeneralisir adalah ajaran ini menentukan sebab daripada akibat
yang timbul, dengan mencari ukuran dengan perhitungan pada umumnya yang berarti
ukuran itu ditentukan in abstrakto.
jadi setelah sesuatu akibat timbul,
dicarilah sebabya dari rangkaian-rangkaian perbuatan itu, yang menimbulkan
akibat dalam pada mana dipergunakan perhitungan yang layak sebagai penyebab
tibulnya akibat.
Akan tetapi, dari perumusan teori Traeger
tersebut kita belum mempunyai pegangan yang kuat untuk menentukan sebab
daripada akibat yang timbul.
Oleh karena itu, beberpa sarjana hukum
mengemukakan teori yang lain adalah sebagai berikut :
1. Pendukung teori yang mengindividualisir
a. Brikmayer : ia dengan teorinya de meest
werzame factor, menurut sarjana ini untuk mencari satu masalah yang
didasarkan pada faktor yang terbesar sebagai sebab timbulnya akibat.
b. Binding dan Kohler : menurutnya untuk mencari suatu
masalah dari rangkaian perbuatan sebagai penyebab timbulnya akibat maka didasarkan
kepada perbuatan yang terpenting dan seimbang sebagai penyebab timbulnya
akibat.
Guna lebih menjelaskan ajaran ketiga
sarjana tersebut di atas, di bawah ini akan dikemukakan keterangan Vos mengenai
ajaran-ajaran ketiga sarjana tersebut, yaitu sebagai golongan pengikut
teori yang mengindividualisir termasuk :
a. Teori dari meist wirk same bedingungdari
Brikmayer:
sebab adalah yang dalam concreto yang
paling memberikan akibat. Contohnya dua ekor kuda yang menarik kereta, yang
palingkuat adalah yang terlebih dahulu menyebabkan bergeraknya kereta itu.
b. Teori dari Binding :
Syarat adalah sebab, yang merupakan pokok
dari syarat di atas negative. Yang dimaksud oleh Binding disini bukanlah
terakhir adalah sebab akan tetapi bila tiap peluru ikut diperhitungkan juga,
maka kita akan kembali lagi pda ajran Van Buri.
c. Teori dari Kohler : syarat adalah sebab yang
menentukan bagi die arts des werdens. Kesulitan teori ini
adalah bila berbagai syarat setingkt pentingnya, umpama seseorang yang peka
terhadap racun, yang bila dimakan orang dalam jumlah tertentu pada umumnya
tidak menyebabkan kematian. Maka kepekaan yang berlebihan ini adalah lebih
menentukan daripda racunnya.
Demikian pendapat Vos mengenai teori yang
mengindividualisir.
2. Pendukung teori yang menggeneralisir
a. Von Kries : teori yang terkenal adalah Adequate
Theorie dengan teorinya tersebut ia mengajarkan perbuatan yang harus
dianggap sebagai sebab daripada akibat yang timbul, adalah perbuatan yang
seimbang dengan akibat. Jika ditinjau Adequate Theorie seperti
yang diajarkan Von Kries ini, maka yang harus dianggap sebagai timbulnya akibat
adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat dan menurut perhitungan yang layak
ia mengetahui bahwa perbuatannya dilarang dengan UU. Jika ajaran ini kita
tinjau lebih dalam guna menentukan perbuatan atau masalah sebagai sebab akibat
yang timbul, dipergunakan perhitungan yang abstrak.
b. Rumelin : ia menganut teori yang menggeneralisir,
menurut ia untuk mencari sebab timbulnya akibat dari rangkaian perbuatan
yang didasarkan pada perhitungan yng layak, akan tetapi menurut Rumelin
perhitungn yang layak si pelakunya tidak hanya harus mengetahui, akan tetapi
juga kemudian baru mengetahui bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang
terlarang. Dalam ajarannya ini Rumelin berpendapat, bahwa yang harus
diperhitungkan itu bukan saja masalah-masalah yang kemudian akan diketahui dari
sudut-sudut subyektif tapi juga masalah-masalah yang akan diketahui dari sudut
obyektif.
c. Simons : pendapat Simons adalah di tengah-tengah
pendapat Von Kries dan Rumelindimana yang dimaksud perhitungan yang layak
menurut Simons haruslah memerhatikan :
1. Masalah yang diketahui si pembuat sendiri.
2. Dan disamping itu juga memperhitungkan masalah yang
diketahui umum, walaupun tidak dikenal oleh si pembuat sendiri cukup umum
mengetahui.
Hubungan Ajaran Causalitas dengan Omissi
Delic
Tidaklah mengalami suatu kesukaran oleh
barang siapa melanggar suatu keharusan yang telah dirumuskan dalam hukum
pidana. Mosalnya dalam pasal 522 KUHP , menurut pasal ini barang siapa yang
diharuskan untuk memberikan kesaksian dimuka pengadilan ia tidak dating dengan
alas an yang sah, maka ia telah memenuhi rumusan dalam pasal 522 KUHP Tersebut,
yaitu melanggar suatu keharusan dan iya telah diancam dengan pidana. Berlainan
halnya ajaran causalitas dengan delik formal dan delik
materiil. Dengan delik formal dan delik materiil yang ditelaah adalah kelakuan
positif ( berbuat sesuatu ) yang menimbulkan akibat terlarang. Akan tetapi
didalam oneigenlijke delict yang dipersoalkan adalah berkenaan
dengan kelakuan positif atau tidak berbuat sesuatu.
Menurut prof.Moeljatno, hubungan kausalitas dalam hukum pidana adalah bersifat
logika, oleh karena itu yang dipersoalkan bukanlah suatu suatu keadaan akan
menimbulkanakibat, akan tetapi apakah sesuatu itu akan timbul apabila tidak ada
yang merintangi.
Oleh karena itu, dalam mempersoalkan ajaran perihal kausalitas oneigenlijke
delict para sarjana mengemukakan teori sebagai berikut:
1. Teori perbuatan positif pada saat akibat timbul
atau theorie van het anders foen.
2. Teori perbuatan yang mendahului akibat atau
theorie van het anders afgaande.
3. Teori tidak berbuat sedangkan berdasarkan kewajiban ia
harus berbuat.
Kesimpulan mengenai causalitas dalam
hal tidak berbuat: sekarang tidak ada persoalan lain, bahwa tidak perbuatan itu
dapat menjadi sebab daripada suatu akibat. Tindak berbuat sebenarnya juga
merupakan perbuatan, dalam delik commisionis per ommissionem commisa (delik
ommisi yang tidak sesungguhnya) “ tidak berbuat sama sekali” akan tetapi” tidak
berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat atau dilakukan, maka dengan
pengertian ini hal “tidak berbuat” dalam arti dapat menjadi syarat untuk
terjadinya suatu akibat.