
Cita-cita nasional sebagaimana
diamanatkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu mencapai
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, tertuang dalam Alinea
kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “... Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Dalam rangka perwujudan cita-cita dan
tujuan nasional tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan negara, di
antaranya adalah sebagai berikut: Pertama,
Memberikan kepastian dan perlindungan hukum
terhdap semua warga negara tanpa diskriminatif, Kedua, Menyediakan fasilitas umum
yang memadai yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat, Ketiga, Menyediakan
saran pendidikan yang memadai dan merata di seluruh tanah air, Keempat, Memberikan
biaya pendidikan gratis terhadap seluruh jenjang pendidikan bagi seluruh warga
negara, Kelima, Menyediakan infrastruktur serat saran transportasi
yang memadai dan menunjang tingkat perekonomian rakyat, Keenam, Menyediakan
lapangan kerja yang dapat menyerap jumlah angkatan kerja dalam rengka
penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara, Ketujuh, Mengirimkan pasukan
perdamaian dalam rangka ikut serta berpartisipasi aktif dalam menjaga dan
memelihiara perdamaian dunia.
“Pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan
spritual berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana
perikehidupan bangsa yang aman tentram, tertib dan dinamis serta dalam
lingkungan pergaulan duniayang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Bangsa Indonesia mengidamkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang
wajar ( seimbang, tidak ekstrim) dan ber peri kemanusiaan, sehingga tercapai
keselarasan, keserasian dan ketentraman di seluruh negeri.
Dengan demikian. Rakyat Indonesia
hendak mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata itu dengan
mengikuti : “de gulden midenweg” dengan menghindari perbedaan-perbedaan yang
menyolok dan cara-cara yang ekstrim. Akibatnya kita menolak untuk mencapai
keadilan dan kemakmuran itu melalui cara yang dianggap tepat oleh faham
kapitalisme, komunisme, ataupun cara-cara yang fanatik, religius.
Menoleh kepada realita sosial dan tradisi di negara
kita dapatlah dikatakan, bahwa secara ekonomis masyarakat kita pada tahun 1966
masih merupakan suatu negara agraris yang sejak 25 tahun terakhir ini secara
bertahap mencoba mengubah strukturnya menjadi struktur ekonomi yang lebih modern
melalui industrialisasi. Hal ini tercermin pula dari rencana-rencana
pembangunan lima tahun Pertama sampai Kelima yang mengatakan, bahwa: Repelita
pertama meletakkan titik berat pada sektor
pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian, Repelita
kedua meletakkan titik berat pada sektor
pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan
baku. Sedang untuk masa kini dan masa depan GBHN 1978
mengemukakan bahwa: Repelita
ketiga meletakkan titik berat -pada sektor
pertanian menuju Swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah
bahan haku menjadi barang jadi, Repelita
keempat (masih) meletakkan titiki berat paida
sektor pertanian (tetapi) dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri, baik industri berat maupun industri ringan. Repelita
lima meletakkan titik berat pada: Pertama, Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan
dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya; Kedua, Sektor industri, khususnya industri yang
menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri
pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri.
Prof. Koentjoroningrat dalam buku "Manusia dan
Kebudayaan Indonesia” menilai, bahwa: ".......... sikap mental
sebagian besar dari orang Indonesia belum cocok untuk pembangunan”. Oleh sebab
itu sikap mental bangsa Indonesia perlu "diubah, dicocokkan dan
dimatangkan untuk pembangunan”.
Adapun pengertian "sikap mental”, menurut Koentjoroningrat
mengandung dua konsep yang dengan istilah ilmiah disebut "sistem nilai
budaya” (cultural value system) dan "sikap” (attitude). Sehingga perubahan
mental pater- nalistik neo-feodalistik ini harus diubah menjadi sistem budaya
dan sikap yang lebih menunjang pembangunan.
Koentjoroningrat menjelaskan selanjutnya, bahwa sistem
nilai-budaya yang cocok untuk pembangunan meliputi paiing sedikit lima konsep:
Pertama, Bahwa orang harus menilai tinggi sikap yang aktif
dan bukan sikap yang pasif dan fatalistis terhadap hidup, dan bahwa
kesengsaraan, bencana, dosa dan keburukan dalam hidup adalah untuk diperbaiki.
Tidaklah tepat orang masih berpegangan pada anggapan seakan-akan rezeki itu
dapat datang tanpa usaha yang nyata. Malahan alam fikiran orang yang
menganggap seakan- akan hidup di dunia fana ini adalah pada hakikatnya suatu
hal yang buruk, sehingga lebih baik mengingkari hidup dan melarikan diri ke
dalam alam kebatinan, sama sekali tidak menunjang pembangunan.
Kedua, Harus dinilai tinggi konsepsi bahwa orang
mengintensifkan karya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Bahwa yang
penting adalah peningkatan mutu karyanya, sehingga orang terus-menerus akan
berusaha untuk menyempurnakan karyanya. Kegembiraan dan kebanggaan berkarya
tertuju pada karya itu sendiri, bukan berkarya semata-mata untuk mencari nafkah
dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang primer (sandang-pangan, papan),
atau untuk kedudukan atau kenaikan pangkat saja (mental pegawai yang
menghitung-hitung credit points).
Ketiga, Orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat
menguasai alam serta kaidah-kaidahnya.
Keempat, Orang harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke
masa depan, tidak hanya memikirkan masa kini saja,
Kelima, Dalam membuat keputusan orang harus bisa
berorientasi ke sesamanya (respek pada sesama manusia), menilai tinggi
kerjasama dengan orang lain, tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa
menghindari tanggung jawab sendiri.
Dalam rangka ini dikemukakan oleh Koentjoroningrat,
bahwa masih ada sikap yang menghambat pembangunan, karena menghambat
perkembangan individu dan meremehkan kualitas individu. Terutama konsep
memandang buruk, apabila seseorang menonjol (yang merupakan salah satu aspek
dari pranata gotong royong) menjadi penghalang bagi manusia Indonesia untuk
berkembang dan terus-menerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh
ejekan- ejekan dan tuduhan, masyarakat, bahwa "ada orang yang ingin maju
sendiri".
Sebagaimana dikatakan oleh Koentjoroningrat:
"Pranata gotong-royong di Indonesia terlampau bersifat menyamaratakan atau
mengkonformkan semua individu kurang memberi kesempatan berkembang kepada
individu- individu dengan kesadaran dan kepribadian yang khas dan kurang
menghargai hasil karya individu''.
Bahkan di samping itu perkembangan kepribadian individu
juga terhambat oleh mental yang terlampau memandang ke fihak atasan
(paternalisme). Sikap ini sangat kuat terdapat di kalangan pegawai), sehingga
"orang juga tidak akan berani bertanggung jawab sendiri, tetapi selalu
hanya menyandarkan diri kepada orang tua atau orang yang lebih tinggi
pangkatnya saja.
Jelaslah bahwa masih banyak sifat-sifat yang melekat
pada "kepribadian Indonesia" yang perlu diubah, agar supaya
benar-benar menjadi manusia pembangun. Perubahan nilai sikap ini sendiri
merupakan bagian dari pembangunan dan merupakan proses yang akan makan waktu
yang amat lama, karena perubahan itu terutama harus terlaksana melalui
pendidikan.
Namun demikian, kiranya proses itu dapat dipercepat melalui pembentukan
(kaidah-kaidah) hukum yang mendorong sikap warga masyarakat ke arah sikap yang
lebih menunjang pembangunan. Berhubung dengan itu maka hukum juga merupakan
suatu sarana pendidikan masyarakat.