
Boleh hukumnya seseorang seperti
seorang ayah atau ibu menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya sebelum dia
meninggal, asal memenuhi lima syarat sbb :
Pertama, pemberi hibah wajib
berada dalam kondisi sehat ketika menghibahkan hartanya. Jika dia menghibahkan
dalam kondisi sakit keras menjelang kematiannya (maradh al maut), hibahnya
tidak boleh dilaksanakan. Karena hibah tersebut dihukumi sebagai washiyat,
bukan sebagai hibah menurut ijma’ ulama. Padahal washiyat tak boleh diberikan
kepada ahli waris sesuai sabda Nabi SAW, ”Tak ada washiyat kepada ahli waris.”
(HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah). (Ibnul Mundzir, Al Ijma’, hlm. 120;
Khalid Al Musyaiqih, Al Jami’ fi Ahkam Al Waqf wa Al Hibat wa Al Washiyyah,
V/259).
Adapun jika hibahnya diberikan
kepada selain ahlis waris, boleh dilaksanakan maksimal sepertiga dari total
harta. Dari Abu Zaid Al Anshari ra bahwa seorang laki-laki telah memerdekakan
enam orang budak miliknya pada saat menjelang kematiannya, dan dia tak punya
harta selain mereka. Rasulullah SAW lalu mengundi di antara mereka kemudian
memerdekakan dua orang budak dan tetap memperbudak empat budak lainnya. (HR
Ahmad & Abu Dawud). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/384).
Kedua, pemberi hibah wajib
melakukan serah terima (al qabdhu) harta tersebut sehingga anak-anaknya dapat
melakukan tasharruf terhadap harta itu, seperti memanfaatkan, meminjamkan, dsb.
Jika hibah hanya formalitas dan tak ada serah terima sehingga anak-anaknya baru
dapat melakukan tasharruf setelah pemberi hibah meninggal, maka pemberian harta
itu tak dihukumi sebagai hibah, tapi sebagai washiyat. Padahal washiyat tak
boleh diberikan kepada ahli waris (termasuk anak). (HR Ahmad, Abu Dawud, &
Ibnu Majah).
Ketiga, pemberi hibah wajib
berbuat adil dengan memberikan hibah yang sama kuantitasnya (at taswiyah)
kepada anak-anaknya. Sebab memberikan hibah kepada anak-anak secara sama
kuantitasnya (at taswiyah) hukumnya wajib, bukan sunnah (istihbab), sebagaimana
pendapat yang dianggap rajih (lebih kuat) oleh Imam Syaukani, ”Maka pendapat yang
benar, memberi hibah secara sama (at taswiyah) adalah wajib.” (Fa al haqq anna
at taswiyah wajibah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/303).
Dari Nu’man bin Basyir ra,
Rasulullah SAW bersabda,”Berbuat adillah di antara anak-anakmu (i’diluu baina
abnaa`ikum).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Sa’id Wajih Sa’id Manshur,
Ahkam Al Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 64-65).
Keempat, pemberi hibah tak
berniat untuk mencegah para ahli waris untuk mendapatkan harta waris. Sebab
boleh jadi ada ahli waris lain selain anak-anaknya, seperti ibunya atau
ayahnya. Jika tindakannya menghibahkan harta itu diniatkan untuk mencegah hak
ahli waris lainnya di luar anak-anaknya, maka hibah itu termasuk hiilah
(rekayasa hukum) yang haram hukumnya. (Lihat QS An Nisaa` [4]:7).
Kelima, hibah yang dilakukan
tak mengakibatkan keharaman, misalnya tak tercukupinya kebutuhan dasar
orang-orang yang menjadi tanggungan pemberi hibah. Dalilnya kaidah fiqih : al
wasiilah ila al haraam haraamun (segala perantaraan menuju yang haram hukumnya
haram).
Kesimpulannya, hibah yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya seperti yang ditanyakan, sah hukumnya
jika memenuhi kelima syarat tersebut. Jika tak memenuhi satu atau lebih dari
kelima syarat tersebut, hibahnya tak sah dan haram dilaksanakan. Solusinya,
hibah itu wajib dibatalkan dan harta tersebut wajib dibagi menurut hukum waris
Islam. Wallahu a’lam.