
Pemisahan
(infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah wajib hukumnya menurut syariah
Islam. Dengan kata lain, dalam walimah haram hukumnya terjadi ikhtilat (campur
baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima’) dan interaksi antara pria
dan wanita di satu tempat. (Sa’id Al Qahthani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa
An Nisaa`, hlm. 7)
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Wajibnya
pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua alasan, yaitu ;
Pertama,
adanya hukum umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam
kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb)
maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah,
kampus, sekolah, pantai, dsb). Hukum umum ini berlaku untuk segala macam
kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah,
berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya.
Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah,
gedung, aula, hotel, dan sebagainya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al
Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Kedua,
tidak terdapat dalil syariah dari Alquran dan As Sunnah yang mengecualikan
walimah dari hukum umum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan
wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan
terjadinya ikhtilat antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram
hukumnya terjadi ikhtilat dalam acara walimah. (Taqiyuddin An Nabhani,
Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).
Hukum
umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil
syariah, di antaranya : (1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan
jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di
depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR
Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); (2) Rasulullah SAW memerintahkan para
wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru
kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); (3) Rasulullah
SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan
jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari
Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam,
hlm. 36).
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah
hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah
pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak
ada perbedaan antara kehidupan umum dengan kehidupan khusus. Maka dari itu,
keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus walimah sehingga dalam walimah wajib
ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al
Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Hanya
saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang
mengecualikannya. Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu : (1)
menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah, dan (2)
pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita. Maka
jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria itu, barulah hukum umum tersebut
berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu
menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap
disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai
ikhtilat (campur baur), seperti
pelaksanaan manasik haji dan jual-beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al
Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).
Dalam
kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang
mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilat
dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya haram. (Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah,
hlm. 333-335). Wallahu a’lam.