
Pemilik tanah
pertanian tidak dibolehkan menyewakan tanah pertaniannya untuk bercocok tanam
maupun ditanami pohon. Karena kedua-duanya termasuk dalam pengertian muzara’ah.
Hukumnya dinyatakan haram dengan tegas oleh syara’.
Dalilnya adalah
sejumlah hadits yang menyatakan larangan menyewakan tanah. Antara lain, hadits
yang dinyatakan dalam Sunan an-Nasa’i, “Rasulullah saw telah melarang untuk
menyewakan tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kami menyewakannya
dengan imbalan biji-bijian?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang
bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan jerami?” Baginda SAW
menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya
dengan imbalan hasil tanaman yang ditanam di sungai kecil.” Baginda SAW
menjawab, “Tidak boleh. Tanamilah, atau serahkan kepada saudaramu.” [HR
An-Nasa’i]
Dalam riwayat
lain, dari Abu Hurairah ra, berkata, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang
mempunyai sebidang tanah [pertanian], maka hendaknya menanaminya, atau
memberikannya kepada saudaramu. Jika dia tidak mau [seperti itu], maka
hendaknya dia menahan tanahnya.” Dalam riwayat lain, dari Jabir, “Rasulullah
saw. melarang Muhaqalah, Muzabanah, dan Mukhabarah.” [HR Muslim]
Makna, “Maka
hendaknya, dia menahan tanahnya.” adalah untuk ditanami sendiri. Itulah yang
dimaksud oleh konteks kalimat ini. Karena itu, keharaman menyewakan lahan ini
jelas dinyatakan dengan tegas dalam sejumlah hadits.
Mengenai
dalil-dalil yang menyatakan kebolehannya, antara lain, yang digunakan oleh mazhab
Syafii, “Kami menggunakan penduduk Khaibar untuk mengerjakan tanah perkebunan
Khaibar, dengan upah tanaman maupun buah-buahan.” Yang memberi peluang
kedua-duanya bisa dilakukan, yaitu Muzara’ah dan Musaqat, maka membawa hadits
tersebut pada konotasi Musaqat jelas lebih kuat, karena adanya riwayat lain
yang dinyatakan oleh ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW memberikan hasil panen dari
tanah Khaibar kepada para istrinya berupa buah-buahan.
Karena itu,
makna musaqat, lebih kuat dibanding makna muzara’ah. Dengan kata lain,
menggunakan makna musaqat adalah bentuk penggunaan dalil [istidlal] dengan
dalil, bukan istidlal dengan syubhat dalil. Sedangkan menggunakan konotasi
muzara’ah, dalam konteks ini, adalah bentuk istidlal dengan syubhat dalil.
Perlu dicatat, syubhat dalil itu kadang berupa dalil Alquran dan as-Sunnah,
tetapi dalalah yang digunakan adalah
dalalah yang marjuhah [lemah], bukan dalalah yang rajihah [kuat].
Adapun larangan
menyewakan lahan untuk pertanian tersebut meliputi dua konteks.
Pertama, lahan
tersebut digunakan untuk bertani [muzara’ah], yang ditanami tanaman yang tidak
mempunyai pohon.
Kedua, lahan
tersebut digunakan untuk perkebunan [tasyjir], juga tidak boleh.
Mengenai
kebolehan musaqat, dijelaskan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin, dalam nasyrah
[21/12/1969], bahwa musaqat adalah melakukan akad ijarah terhadap pohon dengan
upah berupa buahnya, atau menyewakan pohon berikut tanah yang digunakan untuk
tumbuh, dengan upah sebagian dari buahnya, atau tanaman [zuru’], dengan syarat,
jumlah pohonnya lebih banyak. Adapun menyewakan tanah untuk ditanami pohon,
maka ini termasuk muzara’ah, bukan musaqat. Karena itu, tetap tidak dibolehkan.
Karena itu,
tidak diperbolehkan memberikan tanah pertanian untuk disewa orang lain, agar
dia tanami dengan pohon. Yang boleh adalah, seorang pemilik tanah menanami
sendiri tanahnya dengan pepohonan dan tanaman yang lainnya, kemudian
diijarahkan dengan orang lain yang mengurusnya, dengan upah berupa buah yang
dihasilkannya. Inilah yang disebut musaqat. Wallahu a’lam.