
Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad sebenarnya sudah dituliskan secara
lengkap dan jelas menurut sudut pandang Presiden B.J. Habibie melalui
biografinya yang berjudul Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi (2006).
Hari itu, Jumat,
22 Mei 1998. Suasana politik di ibu Kota Jakarta masih terasa panas. Hari itu
adalah sehari setelah Presiden Suharto menyerahkan jabatannya ke Presiden B.J.
Habibie. Hari itu
Presiden Habibie berniat untuk mengumumkan susunan kabinetnya di Istana
Merdeka. Setibanya di Istana Merdeka pada pukul 09.00 WIB, Jendral Wiranto
meminta izin untuk melaporkan keadaan di lapangan pasca kerusuhan di Jakarta
dan di sejumlah kota. Wiranto waktu itu meminta untuk menyampaikan laporan ini
secara empat mata.
Di ruang kerja
presiden, Wiranto melaporkan bahwa adanya pergerakan pasukan Kostrad dari luar
menuju Jakarta. Selain itu ada konsentrasi pasukan di Kuningan dekat kediaman
Habibie dan ada pula di dekat Istana Merdeka.
Habibie
menyimpulkan bahwa Panglima Kostrad yang kala itu dijabat oleh Prabowo
Subianto, bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Jendral ABRI yang kala itu dijabat
oleh Jendral Wiranto. Saat itu juga Habibie memerintahkan Wiranto untuk
mengganti Panglima Kostrad dengan yang baru sebelum matahari terbenam.
Sore harinya,
Jendral Wiranto mengusulkan Panglima Divisi Siliwangi Mayjen Djamari Chaniago
sebagai Pangkostrad yang baru. Namun karena adanya kendala teknis, pelantikan
baru dilakukan keesokan harinya, Sabtu, 23 Mei 1998. Untuk sementara waktu,
karena Prabowo sudah diberhentikan, maka jabatan sementara akan dijabat oleh
Asisten Operasi Pangab Letnan Jenderal Johny Lumintang.
Sabtu, 23 Mei
1998, Prabowo bertandang ke Istana Merdeka untuk menghadap Presiden Habibie,
sekaligus mempertanyakan perihal pemberhentian dirinya dari jabatan
Pangkostrad. Berikut ini kutipan percakapan antara Prabowo dan Habibie yang
saya kutip dari buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia
Menuju Demokrasi (2006) halaman 101.
Terjadi suatu
dialog antara saya dan Pangkostrad, dan sebagaimana biasa jika kami bertemu, ia
berbicara dalam bahasa Inggris. "Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya
dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai
Pangkostrad."
Saya menjawab,
"Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda diganti."
"Mengapa?"
tanya Prabowo.
Saya
menyampaikan bahwa saya mendapat laporan dari Pangab bahwa gerakan pasukan
Kostrad menuju Jakarta, Kuningan dan Istana Merdeka.
"Saya
bermaksud untuk mengamankan Presiden," kata Prabowo.
"Itu adalah
tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggungjawab langsung kepada Pangab
dan bukan tugas Anda," jawab saya.
"Presiden
apa Anda? Anda naif!" jawab Prabowo dengan nada marah.
"Masa
bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang
sangat memprihatinkan," jawab saya.
Percakapan
tersebut memanas, hingga pada akhirnya percakapan tersebut berhenti ketika
salah satu staf khusus Presiden Sintong Pandjaitan meminta, Prabowo
meninggalkan ruangan karena Presiden Habibie akan menerima tamu berikutnya.
Sebelum
berpisah, Habibie masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan salam hormatnya
kepada ayah kandung dan ayah mertua Prabowo.
Singkat setelah
itu, Prabowo dikirim ke Bandung dan ditugaskan untuk menjadi Komandan Sesko
ABRI. Tak lama setelah itu Dewan Kehormatan Perwira dibentuk.
Dewan Kehormatan
Perwira dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pangab Nomor Sekp/533/P/VII/1998
tanggal 14 Juli 1998. Sebelum mengambil keputusan ini, Dewan Kehormatan Perwira
telah bersidang pada tanggal 10, 12, dan 18 Agustus 1998 dengan terperiksa
Letnan Jenderal TNI Prabowo Subianto sebagai Danjen Kopassus.
Dewan Kehormatan
Perwira pada akhirnya mengeluarkan surat keputusan Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP.
Surat tersebut dibuat dan ditandatangani pada 21 Agustus 1998 oleh Ketua Dewan
Kehormatan Perwira Jenderal TNI Subagyo Hadi Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI
Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI Fahrul Razi, anggota Letjen Susilo
Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf Kartanegara. Isinya adalah sederet
pelanggaran Prabowo dan menutup dengan rekomendasi pemecatan dari TNI.
Kira-kira seperti
itulah yang terjadi. Jangan pikir keadaan masih panas hingga sekarang. Dari
yang saya ketahui, baik Prabowo, Habibie maupun Wiranto masih berhubungan
dengan baik dan terlihat tidak menyimpan dendam atau sebagainya. Baik Prabowo
maupun Wiranto, keduanya berada di panggung politik nasional. Namun bedanya
Wiranto berada di pemerintahan, Prabowo sebagai oposisi.
Sebagai orang
awam, sebaiknya kita tidak berpikir yang tidak-tidak. Bahkan Presiden Habibie
pun memiliki analisa tersendiri mengenai pergerakan pasukan Kostrad tanpa
sepengetahuan Pangab, yang dipimpin oleh Prabowo ini. Habibie menyimpulkan
bahwa Prabowo tumbuh dan besar di rezim feodal. Prabowo adalah menantu dari
Presiden Suharto. Artinya apa-apa yang dia kerjakannya sudah biasa ditolelir meskipun
tanpa izin terlebih dahulu, karena mereka keluarga.
Habibie berpikir
bahwa yang semacam itu akan menghambat semangat reformasi dan demokrasi, oleh
karena itu harus dihentikan. Semua keputusan yang diambil oleh semua orang
waktu itu, sudah tentu mengedepankan kepentingan Indonesia, dibanding
kepentingan pribadi dan golongan.