
SALJU
PUNCAK EVEREST MENCAIR
Salah satu hal
unik sekaligus mengerikan dari Gunung Everest adalah keberadaan jasad-jasad
pendaki yang meninggal. Ya,
selama bertahun-tahun, bahkan sampai beberapa dekade, jasad-jasad tersebut
terbaring di jalur-jalur pendakian gunung tertinggi. Kebanyakan
dari jasad-jasad tersebut tertutup oleh salju. Tak terlihat. Karena kebanyakan jasad para pendaki
tersebut dalam keadaan utuh saat ditemukan kembali, maka mereka pun disebut
sebagai 'jasad-jasad abadi'.
Namun,
belakangan seiring dengan laju mencairnya laposan es dan gletser di Gunung
Everest yang semakin cepat, jasad para pendaki tersebut mulai terlihat. Pencairan gletser yang disebabkan oleh
pemanasan global tersebut menguak sisa-sisa apapun yang terkubur di bawah es,
termasuk jenazah-jenazah para pendaki yang meninggal. Operator
ekspedisi Himalaya menuturkan setidaknya ratusan orang telah tewas sejak tahun
1990-an saat mereka mencoba mendaki gunung tersebut. Sebagian besar mayat
diyakini masih terkubur di bawah salju.
Sekarang, berkat
gletser yang mencair karena perubahan iklim, semua yang terkubur di bawah es
mulai muncul ke permukaan. "Karena
pemanasan global, lapisan es dan gletser mencair dengan cepat," kata Ang
Tshering Sherpa, mantan presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal. Masyarakat setempat pun masih berjibaku
mengatasi masalah ini. Pasalnya, pemerintah Nepal juga tidak tahu bagaimana
cara menanganinya. Masyarakat
akhirnya memilih mengambil tindakan dengan membawa turun sebagian besar jenazah
ke kota.
Namun, ini tidak
bisa dilakukan untuk semua jenazah. Sebab perlu biaya tak sedikit untuk
mengurus mereka, antara 40.000-80.000 dollar AS (sekitar Rp 572 juta-1,145
miliar). "Kami telah membawa beberapa mayat
pendaki yang meninggal dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi yang sudah lama
terkubur di es sekarang mulai bermunculan," tambah Ang Tshering. Jenazah yang tertinggal di gunung
kemudian ditutupi warga dengan salju dan batu. Beberapa bahkan berfungsi
sebagai penanda bagi para pendaki Gunung Everest karena benda milik para
pendaki ada yang diletakkan di dekat lokasi mereka meninggal.
"Pendaki
lain sudah siap mental melihat pemandangan seperti itu," tambah Tshering
Pandey Bhote, wakil presiden Asosiasi Pemandu Gunung Nasional Nepal. Selain mayat-mayat itu, cairnya es
rupanya juga menyingkap keberadaan penyakit kuno. Menurut
sebuah studi tahun 2015 yang diterbitkan dalam PNAS, sebuah virus berusia
30.000 tahun pernah ditemukan di lapisan es Kutub Utara, hal tersebut
meningkatkan kekhawatiran jika kenaikan suhu juga turut menyebabkan
meningkatnya penyakit mematikan.
Gletser yang
mencair memang merupakan kekhawatiran seluruh dunia. Sejak awal abad 20,
gletser di planet ini telah berkurang dengan cepat. Misalnya
saja jumlah gletser di Taman Nasional Gletser, rumah bagi sekitar 150 gletser,
kini berkurang menjadi 30 saja.
SUKU
SHERPA
Sebuah
penelitian baru-baru ini mengungkapkan rahasia kekuatan Suku Sherpa di kaki
Gunung Everest, Nepal. Sherpa dikenal sebagai pemandu dan porter tangguh bagi
pendaki Gunung Everest. Sherpa
merupakan suku di pegunungan Himalaya yang bermigrasi dari Tibet sekitar lima
abad lalu. Mereka tinggal selama beberapa generasi
di desa-desa yang berada di ketinggian 2.000-5.000 mdpl. Anggota Pendiri Xtreme Everest dan
konsultan perawatan klinis di Rumah Sakit Universitas Southampton, Inggris,
Denny Levett pada tahun 2013 melakukan ekspedisi ilmiah ke puncak Gunung
Everest.
Ekspedisi itu
bertujuan untuk menjelajahi latar belakang kemampuan daya tahan manusia pada
ketinggian tertentu. Levett teringat
pada satu Sherpa yang tergabung dalam ekspedisi. "Dia
turun sejauh 2.000 meter dari puncak Everest hanya dalam waktu dua jam, ketika
tim terbaik kami melakukannya dalam waktu setengah hari. Dia bahkan berhenti
hanya untuk minum teh ketika turun dari puncak Everest," kata Levett
seperti dikutip dari CNN Travel.
Kemampuan tubuh
menyesuaikan terhadap ketinggian adalah tantangan dalam pendakian Gunung
Everest. Kadar oksigen di puncak hanya ada
sepertiga yang terkandung di langit. Menurut
Levett, hanya enam persen pendaki dari seluruh dunia yang mampu mendaki tanpa
oksigen tambahan. Penyakit di
ketinggian bisa menyerang manusia yang berada di ketinggian beberapa ribu meter
di atas permukaan laut.
Oleh karena itu,
tubuh manusia harus beradaptasi untuk menuju tempat yang lebih tinggi. "Jika kamu pergi langsung ke 3.500
meter, keesokan harinya akan merasa seperti memiliki flu atau mabuk," kata
Levett seperti dilansir TribunTravel. Namun,
hal itu tak terjadi pada Suku Sherpa. Setelah
berabad-abad hidup pada ketinggian tinggi, populasi suku Sherpa di Himalaya
telah berevolusi untuk menguasai kemampuan untuk bertahan hidup dalam
ketinggian. "Kamu akan melihat, mereka sama
sekali tidak terpengaruh (terhadap tipisnya oksigen)," kata Levett.
Pada tahun 2013,
Levett bersama rekannya berangkat dengan 180 relawan. Jumlah
tersebut terdiri atas 116 orang dari dataran rendah dan 64 Sherpa menuju untuk
Everest Base Camp. Relawan dites
secara fisik dan biologis untuk mengidentifikasi perbedaan fisik sebelum dan
selama pendakian menuju ketinggian 5.300 meter di atas permukaan laut. Levett mempresentasikan temuan
penelitian terhadap suku Sherpa dalam World Extreme Medicine Expo in London
bulan lalu. Ia mengidentifikasi perbedaan bagian sel
manusia yang berfungsi untuk menghasilkan energi atau yang dikenal sebagai
mitokondria.
"Mitokondria
pada Suku Sherpa lebih efisien dalam menggunakan oksigen. Sel mereka seperti
mobil yang irit bahan bakar. Kamu bisa mendapat energi dari oksigen yang
minim," kata Levett. Tim
mempelajari pembuluh darah di bawah lidah dan lokasi lain di tubuh untuk
memantau sirkulasi udara di organ-organ lain yang disebut mikrosirkulasi. Bentuk sirkulasi darah ini berada di
pembuluh darah terkecil dan melihat bagaimana oksigen mampu mencapai otot,
jaringan, dan organ hingga tubuh manusia bisa bekerja.
"Kecepatan
ini lebih tinggi di mana darah dapat mengalir di sekitar memungkinkanmu untuk
memberikan lebih banyak oksigen ke jaringan yang lebih cepat," ujar ahli
transplantasi ginjal di Rumah Sakit Universitas Coventry dan Warwickshire,
Inggris, Chris Imray yang berangkat bersama Levett dalam ekspedisi ilmiah ini. Levett mengatakan, temuan ini menjadi
penelitian pertama yang membahas perbedaan fisiologis dan dapat menjelaskan
kemampuan suku Sherpa di ketinggian. Ia
menyebut studi-studi lain telah meneliti perbedaan genetik pada suku Sherpa.
Hal itu akan diteliti oleh tim Levett berikutnya.