
Masyarakat
keturunan Tionghoa di Yogyakarta memang tidak diizinkan untuk memiliki hak izin
kepemilikan tanah di Yogyakarta, paling jauh, mereka hanya diizinkan untuk
memiliki hak pakai saja. Faktanya, bukan hanya orang keturunan Tionghoa saja
yang tidak boleh memiliki hak kepemilikan, namun juga orang keturunan asing
yang lain.
Mengapa di
banyak berita hanya dituliskan orang keturunan Tionghoa saja yang tidak boleh
memiliki hak milik tanah? Di
akhir tahun 2017, Handoko, seorang pengacara keturunan, mengajukan gugatan
kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengenai Surat Instruksi Wakil
Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah
bagi Warga Nonpribumi di DIY yang dinilai diskriminatif.
Gugatan yang
diajukan oleh Handoko ditolak hingga tiga kali. Majelis hakim beralasan bahwa
Surat Instruksi Wakil Gubernur yang digugat bertujuan untuk melindungi hajat
orang banyak atau kepentingan umum. Handoko bersama warga keturunan lainnya pun
terus berusaha untuk naik banding.
Apa
itu Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 dan bagaimana
sejarahnya?
Sejak zaman
kolonial Belanda, tepatnya sejak zaman pendudukan Gubernur Jendral Dandels,
banyak warna pribumi yang menjual tanahnya kepada orang asing, misalnya orang
Belanda. Setelah Indonesia merdeka, UUD 1945 memberikan kelonggaran bagi daerah
dengan status khusus atau istimewa untuk mensejahterakan warganya sesuai yang
telah diatur di undang-undang.
Pada 1948, saat
Agresi Militer Belanda II, Hamengku Buwono IX mencabut hak milik etnis Tionghoa
karena dianggap memihak Belanda. Pada 1950, meskipun NKRI berhasil
dipertahankan, HB IX masih menangguhkan pencabutan hak milik tanah kepada etnis
Tionghoa meskipun masih diperbolehkan untuk tinggal di Yogyakarta dalam rangka
memberikan ketenangan.
Pencabutan hak
milik tanah tersebut menjadi semakin dipadatkan saat Paku Alam VIII
memberlakukan Instruksi 1975. Pada intinya, surat instruksi ini bertujuan
untuk melindungi hak-hak warga pribumi agar tidak tergeser oleh pihak-pihak
dengan dana dan kekuatan yang besar.
Seharusnya sudah
tidak relevan sejak tahun 1984. Peraturan Gubernur nomor 3 Tahun 1984 berbunyi
‘Dengan berlakunya peraturan daerah ini, maka segala ketentuan peraturan
perundang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria
dinyatakan tidak berlaku lagi’. Mau tidak mau Surat Instruksi 1975 seharusnya
juga gugur dengan turunnya Pergub ini.
Selain itu,
Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 juga melarang penggunaan istilah pribumi
dan nonpribumi yang setidaknya seharusnya memancing para pembuat kebijakan
untuk menilik kembali peraturan-peraturan yang berpotensi menggunakan kata
pribumi dan nonpribumi.
Masyarakat
keturunan Tionghoa tidak bisa memiliki hak izin kepemilikan tanah disebabkan
oleh adanya Surat Instruksi 1975. Bukan hanya keturunan Tionghoa saja, semua
keturunan asing tidak diizinkan untuk mempunyai hak milik di DIY, menurut surat
instruksi tersebut.
Usaha-usaha
telah dilakukan oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan atas Surat Instruksi
yang ‘katanya’ masih berlaku ini. Padahal, di tahun 1984 telah turun Peraturan
Gubernur yang menggugurkan semua aturan agraria yang telah keluar sebelumnya.
Sayangnya, usaha
yang telah dilakukan terasa dipersulit dan akhirnya sia-sia. Berbagai pihak dan
instansi yang terkait langsung dengan peraturan yang merugikan ini terkesan
saling melemparkan tanggungjawab kesana dan kemari.
Peraturan yang
diskriminatif sudah seharusnya tidak diberlakukan lagi. Apakah ketika orang
ingin membeli tanah di Yogyakarta, akan dilihat terlebih dahulu silsilahnya?
Dicek terlebih dahulu kelopak matanya, cek DNA-nya?
Apabila dalih
yang digunakan untuk tetap memberlakukan peraturan ini adalah agar warga yang
lemah tidak tertindas, mengapa harus memberlakukan peraturan berdasarkan ras
dan golongan? Apakah keturunan Tionghoa tidak ada yang miskin? Apakah warga
asli Jogja tidak ada yang kaya? Lalu bagaimana menyikapi perusahaan besar yang
menyulap sawah-sawah menjadi apartemen dan hotel yang menjulang tinggi? Lah
katanya Jogja ora didol?
Tetapi Hukum Harus Tetap di Tegakkan