
Indonesia, di
bawah pimpinan Soeharto, beserta Australia dan Amerika Serikat masuk ke Timor
Timur pada 1975 karena ingin memerangi paham komunisme di era Perang Dingin
tersebut.
Soeharto, pada
masa itu, sedang berusaha mempersatukan Indonesia yang baru selesai dari
revolusi G 30 S, sehingga inisiatif untuk masuk ke Timor Timur bukanlah karena
nekat, melainkan calculated. Timor Timur berada berbatasan langsung dengan
Indonesia dan khususnya dianggap merupakan ancaman bagi kesatuan wilayah timur
Indonesia bila komunisme dibiarkan hidup di sana.
Amerika Serikat
pada tahun tersebut tak dapat langsung terjun sendiri karena baru selesai dari
pekatnya Perang Vietnam, baik dari sisi dalam mau pun luar negeri.
Sedangkan,
Australia pada masa tersebut juga tak dapat mewakili AS karena di dalam
negerinya mengalami krisis konstitusi (1975 Australian constitutional crisis).
Sejarah Timor
Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari
Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan
menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan
dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian
barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun
setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975,
ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di
Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di
Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi
perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis
yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau
dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal
dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada
tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu
laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman
pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November,
Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian
besarnya wanita dan anak-anak karena para suami mereka adalah pendukung faksi
integrasi dengan Indonesia).
Dalam sebuah
wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar
Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas
berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000". Tak lama kemudian, kelompok
pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975
dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari
kekuasaan Fretilin yang berhaluan Komunis.
Ketika pasukan
Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, Fretilin
didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk
melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian
mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang
mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah
menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah International
yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.
Selain
terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh
kelompok radikal Fretilin di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.
Sehingga banyak juga tokoh-tokoh Fretilin yang dibunuh oleh sesama Fretilin
selama di hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti
Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975.
Seandainya
Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang
tempat dia dipenjarakan oleh Fretilin di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa
lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang. Selain Xavier, ada juga
komandan sektor Fretilin bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan
(kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal Fretilin). Istri komandan
Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan
Fretilin lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang
keberadaan suaminya.
Selama perang
saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan
selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000
orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan Fretilin
menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati ditangan Indonesia saat dan sesudah
invasi dan adapula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan
183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari
bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Operasi Seroja
adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur yang dimulai pada tanggal 7
Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu Timor Timur karena adanya desakan
Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan agar Fretilin yang berpaham
komunisme tidak berkuasa di Timor Timur. Selain itu, serbuan Indonesia ke Timor
Timur juga karena adanya kehendak dari sebagian rakyat Timor Timur yang ingin
bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan sejarah.
Angkatan Darat
Indonesia mulai menyeberangi perbatasan dekat Atambua tanggal 17 Desember 1975
yang menandai awal Operasi Seroja. Sebelumnya, pesawat-pesawat Angkatan Udara
RI sudah kerap menyatroni wilayah Timor Timur dan artileri Indonesia sudah
sering menyapu wilayah Timor Timur. Kontak langsung pasukan Infantri dengan
Fretilin pertama kali terjadi di Suai, 27 Desember 1975.
Pertempuran
terdahsyat terjadi di Baucau pada 18-29 September 1976. Walaupun TNI telah
berhasil memasuki Dili pada awal Februari 1976, namun banyak
pertempuran-pertempuran kecil maupun besar yang terjadi di seluruh pelosok
Timor Timur antara Fretilin melawan pasukan TNI. Dalam pertempuran terakhir di
Lospalos 1978, Fretilin mengalami kekalahan telak dan 3.000 pasukannya menyerah
setelah dikepung oleh TNI berhari-hari. Operasi Seroja berakhir sepenuhnya pada
tahun 1978 dengan hasil kekalahan Fretilin dan pengintegrasian Timor Timur ke dalam
wilayah NKRI.
Selama operasi
ini berlangsung, arus pengungsian warga Timor Timur ke wilayah Indonesia
mencapai angka 100.000 orang. Korban berjatuhan dari pihak militer dan sipil.
Warga sipil banyak digunakan sebagai tameng hidup oleh Fretilin sehingga korban
yang berjatuhan dari sipil pun cukup banyak. Pihak Indonesia juga dituding
sering melakukan pembantaian pada anggota Fretilin yang tertangkap selama
Operasi Seroja berlangsung.
Timor Leste
menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah
gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari
Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara.
Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu
mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak
pernah diurus dengan baik.
Amerika Serikat
dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut Timor Leste
menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara
Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia
khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah
AS angkat kaki dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.
Namun PBB tidak
menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30
Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan
Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara
waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September
1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan
pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000
dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah,
sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur.
Pada 20
September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor
(INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui
secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan
sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi
misinya secara drastis.
Semenjak hari
kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan
dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa
resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai
"balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat
referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor
Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang
dolar AS sebagai mata uang resmi.