Dahulu pada masa
jahiliyah, dari Senin-Kamis, orang-orang bekerja dan mencari uang. Nah, pada
hari berikutnya, mereka saling berkumpul di sekitar kabah untuk berbangga-bangga
atas hal kerja dan uang yang mereka kumpulkan. Hari itu disebut dengan Hari
Kebanggan / Hari Berbangga-bangga.
Kemudian,
setelah umat muslim sampai di Madinah, mereka ingin sebuah hari untuk berkumpul
juga. Nasrani memiliki waktu berkumpul hari Minggu sedangkan Yahudi memiliki
waktu ibadah hari Sabtu. Maka, dipilihlah hari tertentu oleh Muslim untuk
berkumpul.
Tapi, jika orang
jahiliyah berkumpul untuk berbangga-bangga atas hasil kerja mereka, tidak
demikian dengan Muslim. Muslim tidak menamakan hari itu dengan Hari
Berbangga-bangga, tapi menamainya dengan Hari Jumat. Kata “Jumat” berasal dari
Jamaah, artinya ‘berkumpul’. Lalu disyariatkanlah shalat Jumat (makanya shalat
Jumat wajib ditunaikan berjamaah, sesuai dengan nama harinya, yaitu hari Jumat).
Artinya, jika
orang jahiliyah berkumpul di Hari Kebanggaan untuk sekadar berbangga-bangga dan
bersombong-sombong, umat muslim harus berbeda. Muslim berkumpul di Hari Jumat
justru untuk beribadah, menundukkan diri, berdoa kepada Allah, berterima kasih
atas segala nikmat yang telah Ia berikan selama Senin-Kamis sehingga umat
Muslim bisa bekerja untuk mencari nafkah. Bahkan, setelah
shalat Jumat, Muslim diperintahkan untuk bekerja kembali, bukannya malah
malas-malasan. Oleh karenanya ayat yang turun tentang shalat Jumat berbunyi
begini,
“Sebelumnya,
Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka untuk bekerja (apabila adza telah
berkumandang) dan memerintahkan mereka untuk berkumpul melaksanakan shalat
Jum’at. Maka setelah selesai shalat, Allah subhanahu wa ta’ala mengidzinkan
mereka untuk bertebaran di muka bumi dan mencari karunia-Nya.”
‘Irak bin Malik
radhiyallohu ‘anhu, ketika selesai shalat Jum’at, dia pergi dan berdiri di
depan pintu masjid seraya berdo’a,
“Ya Allah, saya
telah memenuhi panggilan-Mu, menunaikan kewajiban-Mu dan bertebaran (untuk
mencari karunia-Mu), sebagaimana yang Engkau perintahkan kepadaku, maka
limpahkanlah karunia-Mu kepadaku karena Engkau-lah sebaik-baik Pemberi rizki.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Pada masa
jahiliyah, disebutnya adalah Hari Kebanggan, karena mereka berkumpul di sekitar
Kabah, berbangga diri dan saling sombong atas harta yang mereka kumpulkan di
Senin-Kamis. Pada masa Islam,
Hari Kebanggan diganti dengan Hari Jumat (berkumpul). Bedanya, muslim berkumpul
untuk merendahkan diri, berdoa, silaturahmi, dan bersyukur dengan adanya Shalat
Jumat.