Ini pertanyaan
yang bagus. Sejarawan masih berusaha mencari tahu mengapa Cina tidak mau
menjajah dunia walaupun negara itu memiliki sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi
untuk mewujudkannya.
Faktanya, Cina
memiliki pengetahuan pembuatan kapal dan navigasi untuk melintasi Samudera
Pasifik lalu “menemukan” dan menjajah belahan bumi bagian Barat dan
Australia/Selandia Baru jika mereka ingin melakukan itu pada era Dinasti Tang
tahun 600 Masehi.
Selama
berkuasanya Dinasti Song Utara dan Selatan yang ramah terhadap perdagangan,
Tiongkok memiliki armada dagang besar yang berjumlah puluhan ribu kapal yang
dapat melintasi Laut Cina Selatan dan Timur dengan mudah. Perdagangan
mancanegara begitu penting, dan pada kenyataannya itu adalah satu-satunya waktu
dalam sejarah saat Tiongkok memiliki ibukota di dekat laut, yang sekarang
menjadi kota pelabuhan Hangzhou. (Semua ibu kota Tiongkok sebelum dan
setelahnya berada di pedalaman jauh dari pantai, seperti Beijing. Sebagian
besar dinasti Tiongkok kecuali Song Selatan tidak yakin akan potensi
perdagangan dan tidak mempercayai para pedagang kaya dan kuat.)
Kapal Dinasti Song Selatan pada tahun 1100-an. Kapal itu cukup
mengesankan, lebih besar dan lebih canggih secara teknologi daripada kapal mana
pun yang dibangun di dunia pada saat itu. Kapal-kapal ini memiliki kemudi yang
sangat besar dan layar yang secara efisien mengikuti angin, dan lebih baik jika
dibandingkan dengan kapal Galeon Spanyol yang digunakan orang Eropa untuk
eksplorasi dan kolonisasi mereka pada tahun 1500-an dan 1600-an (contoh di
bawah gambar kapal Dinasti Song Selatan).
Teknologi
pelayaran Tiongkok mencapai puncaknya dalam masa Dinasti Ming, pada awal
1400-an, ketika Kaisar Yongle merekrut salah seorang kasim tepercaya, Zheng He
(Cheng Ho), untuk memimpin "Kapal khazanah" dan menunjukkan kepada
dunia tentang kekuatan dan kekayaan Cina. Kaisar Yongle, sejauh yang saya tahu,
adalah satu-satunya kaisar Tiongkok sejak Dinasti Tang yang secara serius
menganggap eksplorasi maritim sebagai alat utama untuk memperluas pengaruh
Tiongkok, dan yang menggunakan sumber daya dalam jumlah besar untuk
mewujudkannya.
"Kapal
khazanah" ini berangkat dari Nanjing, ibukota Dinasti Ming pada saat itu,
dan pergi melintasi Samudra Hindia, beberapa sampai ke pantai Afrika Timur. Ada
7 ekspedisi yang terjadi antara 1405 dan 1433.
Di bawah ini
adalah contoh bagaimana canggihnya teknologi pembuatan kapal Cina. Kapal yang
sangat besar itu adalah salah satu kapal utama dalam armada “Kapal khazanah”
milik Cheng Ho, yang berlayar dari Tiongkok ke Indonesia lalu ke India. Kapal
yang jauh lebih kecil adalah kapal Eropa yang digunakan Vasco Da Gama,
penjelajah Portugis, untuk berlayar di sekitar Tanjung Harapan di ujung selatan
Afrika dalam perjalanannya untuk "menemukan" India pada tahun 1498.
Kapal itu berada di depan teknologi kapal layar Eropa. Lihat saja betapa besar
perbedaannya.
Di bawah ini
kamu dapat melihat seluruh "Armada Kapal Khazanah" bertolak dari
pelabuhan, berlayar di lautan. Setiap armada berisi ratusan perahu,
masing-masing kapal berisi ratusan orang. Secara total, sekitar 20.000 orang
berada di salah satu armada ini, ini berarti armada sama padatnya dengan kota
pada saat itu dan armada ini adalah yang terbesar dari jenisnya di dunia pada
waktu itu. Dan armada ini berlayar ribuan mil per perjalanan. Hal itu cukup
mengesankan. Di sisi lain, armada Vasco da Gama pada tahun 1498 berisi empat
kapal kecil dan paling banyak 170 orang.
Sebagai
akibatnya Tiongkok akan menghancurkan Eropa jika saja berkompetisi sebagai
penjajah pada awal 1400-an.
Sayangnya, hal
itu tidak terjadi. Setelah kematian Kaisar Yongle pada tahun 1424 dan
"Armada Kapal Khazanah" terakhir pada tahun 1433, Tiongkok berbalik
dan mulai menutup diri dari dunia luar. Kaisar Ming selanjutnya membongkar
kapal-kapal besar "Armada Kapal Khazanah" dan menggunakan sejumlah
besar uang yang digunakan untuk eksplorasi maritim untuk membangun Tembok Besar
yang sangat mahal, dari pembangunan hingga perawatannya untuk menangkal Mongol
yang baru muncul dan sangat kuat di perbatasan utara.
Itu adalah waktu
yang buruk bagi Tiongkok untuk menutup diri dari dunia luar, karena pada
1600-an dan 1700-an Eropa mulai berkembang dengan pesat dalam bidang teknologi.
Dan penjajahan dan kompetisi terus menerus antara kerajaan-kerajaan kecil Eropa
(kecil dibandingkan dengan Cina) yang menyebabkan lompatan teknologi ini.
Sifat terpusat
dari negara Tiongkok yang membuat Tiongkok tidak mengeksplorasi, menjajah dan
memperluas wilayah pengaruh langsungnya di Asia Timur.
Dalam 1.400
tahun sejak zaman Dinasti Tang, yang mana kemampuan teknologi, logistik dan
sumber daya untuk melakukan penjajahan jarak jauh sudah tersedia, hanya ada
satu periode terpecahnya politik karena kerajaan-kerajaan kecil yang berperang
yang mirip dengan apa yang menjadi ciri Eropa setelah jatuhnya Romawi. periode
Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan (五代 十 国),
yang berakhir pada tahun 979 M ketika Dinasti Song Utara didirikan. Periode
perpecahan ini hanya berlangsung sekitar 90 tahun atau lebih. Setelah itu,
semua kaisar yang mendirikan dinasti setelah Dinasti Song Utara hanya mengambil
alih kekuasaan dinasti sebelumnya dengan pemberontakan. Akibatnya, tidak ada
periode "negara-negara yang berperang" yang mendahului Dinasti Yuan,
Dinasti Ming atau Dinasti Qing.
Karena negara
yang sangat tersentralisasi, setiap keputusan yang terjadi di istana sanggup
mempermudah atau malah menghentikan proyek kolonisasi. Bukan sesuatu yang sulit
untuk dipahami jika "Armada Kapal Khazanah" Kaisar Yongle berlanjut
selama 100 tahun lagi setelah 1433, mungkin satu atau dua pejabat istana atau
kaisar berpikir jika suatu ide yang baik untuk mendapatkan tanah jajahan - atau
koloni - sebagai ganti uang yang sudah mereka habiskan untuk ekspedisi maritim
ini.
Sayangnya istana
Ming berubah sangat konservatif setelah 1433, memusatkan energinya pada
musuh-musuh darat, yang kebanyakan merupakan orang Mongol. Istana Qing setelah
tahun 1644 melanjutkan kebijakan luar negeri berbasis darat yang sama, sangat
mengabaikan apa yang terjadi pada teknologi maritim. Dan baik istana Ming
maupun Qing tetap sangat tidak mempercayai perdagangan luar negeri, mengatur
dan mengendalikannya dengan ketakutan akan orang asing yang membuat para
pedagang asing dan pedagang China sangat diawasi dan dibatasi. Itu adalah
perubahan kebijakan yang berbeda hampir 180 derajat dari Song Selatan yang
terbuka, bersahabat terhadap perdagangan, dan kosmopolitanisme.
Karena
orang-orang Eropa terpecah secara politis, mereka tidak menghadapi masalah yang
sama tentang terlalu tersentralisasinya keputusan eksplorasi dan penjajahan
seperti yang terjadi di Tiongkok.
Christopher
Columbus adalah contoh yang bagus untuk ini.
Columbus
memiliki gagasan yang agak gila bahwa jika ia berlayar ke arah barat dari
Eropa, ia akhirnya akan sampai Asia dari sisi lain. Para astronom dan
orang-orang terpelajar lainnya di berbagai istana Eropa membantah bahwa ini
tidak mungkin karena mengingat keliling Bumi yang diketahui pada waktu itu, ia
harus melintasi samudera selebar 15.000 mil untuk mencapai Asia. Columbus
berpikir tidak, bahwa samudera itu hanya selebar 3.000 mil saja dan ia akan
memiliki cukup persediaan untuk menyeberang ke Asia. Baik astronom maupun
Columbus tentu saja tidak tahu bahwa ada benua besar menghalanginya.
Columbus, dengan
ide-ide barunya, pertama-tama pergi ke Raja Portugal untuk melihat apakah ia
bisa mendapatkan uang untuk ekspedisinya. Raja berunding dengan para ahli dan
penasihatnya dan menolak Columbus dengan berdasarkan alasan yang saya berikan
di atas. Setelah beberapa tahun, Columbus pergi ke Raja Portugal lagi, dan lagi
Raja menolaknya - kali ini karena penjelajah Portugis baru saja mengelilingi
Afrika dan Raja perlu menghemat uangnya untuk ekspedisi ke India. Dia kemudian
pergi ke Istana di Genoa dan Venesia di Italia — pada waktu itu kota-kota yang
sangat kaya mampu memberinya kapal dan uang untuk berlayar melintasi Atlantik.
Mereka juga menolaknya. Dia mengirim saudaranya ke Raja Inggris untuk melihat
apakah dia bisa menjual ide ekspedisinya di Istana itu. Raja Inggris
menolaknya. Columbus akhirnya pergi ke istana Spanyol, Ratu Isabella dan Raja
Ferdinand. Isabella tetap skeptis, tetapi Ferdinand menjadi penasaran. Columbus
akhirnya meyakinkan dia, dia meyakinkan istrinya, dan Columbus pergi pada 1492
dengan uang dan kapal yang diperlukan untuk menyeberangi Atlantik.
Jadi Columbus
harus ditolak oleh 5 raja kaya dan berkuasa sebelum menemukan seseorang yang
cukup percaya padanya untuk memberinya uang dan kapal yang dia butuhkan.
Dan bahkan jika
dia gagal dengan raja-raja Spanyol, Columbus masih bisa memohon dan meyakinkan
Raja Prancis, Raja Skotlandia, berbagai kerajaan dan negara-kota kaya di Italia
yang bukan Genoa dan Venesia, Paus, Raja Denmark, Kaisar Romawi Suci, dan
berbagai kerajaan dan negara-kota Jerman. Dengan kata lain, Columbus memiliki
banyak pilihan untuk menemukan "investor"-nya. Tujuannya adalah untuk
meraih satu penjualan saja dengan satu raja tunggal untuk menjadi sukses.
Bayangkan
melakukan itu di Tiongkok — penjelajah seperti Columbus dengan ide eksplorasi
gila hanya akan memiliki satu istana untuk didatangi, istana Ming. Dan jika
kaisar menolaknya berarti akhir dari cerita. Tidak ada jalan lain, tidak ada
pilihan sama sekali.
Jadi sifat hiper-sentralisasi negara Tiongkok
yang memang sejak dulu tertanam inilah yang menghambat selera eksplorasi dan
kolonisasi selanjutnya di antara orang-orang Tiongkok.