Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Sejarah
Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia
Dalam rangka meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang produktif dan mampu berpartisipasi aktif
dalam pembangunan, pemerintah Indonesia (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan) telah mengambil beberapa langkah maju dalam upaya mengusahakan
layanan pendidikan bagi ABK. Hal ini dilakukan demi tercapainya usaha perluasan
dan pemerataan kesempatan belajar yang berlaku bagi semua anak usia sekolah
termasuk ABK. Langkah nyata ini diawali dengan mengadakan kerjasama dengan
Helen Keller International Incorporated (HKI,Inc) di New York USA, yang
perjanjian kerjasamanya ditandatangani pada tanggal 8 September 1977 berupa
Perintisan Pelaksanaan Program Pendidikan Integrasi bagi Anak Tunanetra. Untuk
ini telah ditatar 33 orang guru lulusan SGPLB untuk menjadi Guru Pembimbing
Khusus (GPK) bagi anak tunanetra di Sekolah Integrasi (tahun 1979-1980).
Perintisan/ uji cobapun
dilakukan oleh Balitbang Dikbud pada tahun 1984 di beberapa sekolah umum di
kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya) untuk
menerima ABK, terutama anak tunanetra dengan potensi akademik normal. Uji coba
ini dinyatakan berhasil, dan pada tahun yang sama pula disusunlah Buku Petunjuk
Teknis Pendidikan Integrasi di Sekolah Dasar (dalam rangka penuntasan anak usia
7-12 menuju pelaksanaan wajib belajar) kemudian disusul oleh SK Mendikbud nomor
022/U/1986 tanggal 4 Januari 1986 tentang Pendidikan Integrasi bagi Anak Cacat.
Dengan berdasar pada SK tersebut, maka program pendidikan integrasi bagi ABK
mutlak harus dilaksanakan, karena dianggap cukup efektif, relatif lebih murah
(tidak perlu membangun gedung baru dan mengangkat guru baru), juga dapat
mempercepat proses sosialisasi dan kemandirian ABK.
Kebijakan penyelenggaraan
program pendidikan integrasi di wilayah sepenuhnya menjadi wewenang dan
tanggung jawab Kantor Wilayah setempat dengan ketentuan sebagai berikut.
Program pendidikan integrasi dapat diselenggarakan pada satuan
pendidikan TK, SD/MI, SLTP/MTs, dan SMU/MAN
Siswa yang mengikuti program pendidikan integrasi adalah ABK yang
memiliki kecerdasan normal (yaitu program pendidikan integrasi penuh)
Guru Pembimbing Khusus (GPK) berasal dari SLB dengan surat
penugasan secara resmi dari Kantor Depdikbud
Masyarakat yang dinilai mampu dari segi teknik edukatif, dapat
membantu pembangunan penyelenggaraan program pendidikan integrasi.
Penyelenggaraan program
pendidikan integrasi ini lebih diperkuat dengan munculnya Undang-undang
RI nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya Surat
Edaran Dirjen Dikdasmen nomor 6718/C/I/89 tanggal 15 Juli 1989 tentang
perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum; Surat
Direktur Pendidikan Dasar nomor 0267/C2/U,1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Integrasi; serta Undang-undang nomor 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat, bab III pasal 5, yang menyatakan: “Setiap penyandang
cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”, pasal 6 menyatakan: “Setiap penyandang cacat berhak memperoleh
pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan”. Pada Bab
IV pasal 12 dinyatakan bahwa “Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan
dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada
satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatan serta kemampuannya”.
Perlu dipahami bahwa
sebenarnya istilah sekolah integrasi tidak identik dengan konsep mainstreaming.
Mainstreaming menghendaki agar pendidikan bagi ABK kembali ke jalur induknya,
yaitu sekolah umum (biasa). Adapun sekolah integrasi merupakan salah satu
bentuk mainstreaming, atau dengan perkataan lain, konsep mainstreaming jauh
lebih luas dari pada konsep sekolah integrasi. Keluasan pengertianmainstreaming dapat
dilihat secara lebih jelas pada rentangan kemungkinan penyedian layanan
pendidikan (service delivery). Secara garis besar, rentangan penyediaan
layanan pendidikan dimulai dari yang paling terbatas (the most restrictive),
yaitu pembelajaran di tempat khusus seperti rumah sakit atau di rumah, sampai
yang paling tidak terbatas (the least restrictive), yaitu kelas biasa
tanpa tambahan bimbingan khusus (Deno, 1970). Di sini jelas bahwa layanan
pendidikan bagi ABK tidak harus selalu di sekolah atau kelas biasa. Penempatan
seorang ABK dilakukan berdasarkan potensi dan kelemahan anak, tetapi pada
prinsipnya, seorang anak harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak
terbatas. Itulah sebabnya, konsep mainstreaming sering
dianggap identik dengan konsep The Least Restrictive Environment (LRE).
Berdasarkan informasi
Direktur PLB dalam pidatonya tentang “Kebijakan dan Program Pembinaan PLB Tahun
2005” tanggal 23 Agustus di Bandung, mengemukakan bahwa Sekolah Integrasi
(2004) kurang lebih ada 500 sekolah dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus
kurang lebih sebanyak 2.750 siswa, yang meliputi: 467 Sekolah Dasar (SD) dengan
2.573 siswa ABK; 28 SMP dengan 136 siswa ABK, dan 9 SMA/K dengan 41 siswa ABK.
Tahun
2004 gerakan Pendidikan Inklusi secara resmi dideklarasikan di Bandung yang
menegaskan penjaminan setiap
anak berkelainan dan berkebutuhan khusus lainnya dalam mendapatkan kesamaan
akses dalam segala aspek kehidupan, mendapatkan perlakuan yang manusiawi, dan
kebebasan berinteraksi secara reaktif maupun proaktif serta terselenggaranya
pendidikan inklusif tercantum dalam Deklarasi Bandung.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak
dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di
Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain
menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif.
Menurut
data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Kemendiknas awal tahun 2011
terdapat 624 sekolah inklusi baik SD, SMP, dan SMA. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan terutama yang
berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran dari banyak pihak.