Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Sejarah
Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia
Pada akhir abad ke-19
bentuk layanan pendidikan bagi ABK bergeser dari sistem segregasi di
sekolah-sekolah khusus kepada munculnya kelas-kelas khusus di sekolah biasa.
Ini merupakan suatu upaya menghindarkan isolasi ABK dari teman-temannya yang
normal. Bentuk kelas ini semakin memasyarakat tidak hanya di Eropa, tetapi juga
di Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya.
Pada tahun 1960-an bentuk
layanan pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal (segregasi)
mulai dipertanyakan keefektifannya. Beberapa peneliti melihat kemanfaatan
penyelenggaraan kelas khusus dengan membandingkannya dengan anak-anak
tunagrahita ringan dan gangguan emosi ringan yang tetap berada di kelas
biasa tanpa layanan khusus. Kedua kelompok tersebut ternyata tidak
berbeda, berarti penyediaan layanan di kelas-kelas khusus tidak membawa
manfaat sama sekali. Sunardi (1995) mengemukakan bahwa tulisan yang sangat
berpengaruh sampai sekarang adalah tulisan Dunn (1968). Dengan mengutip hasil
berbagai penelitian, Dunn menekankan bahwa penyelenggaraan kelas khusus bagi
anak tunagrahita ringan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan harus dihapuskan.
Meskipun penelitian yang dikutip banyak mendapat kritik, tulisan tersebut
sangat berpengaruh terhadap perkembangan system layanan PLB selanjutnya,
terutama dorongan agar ABK dapat belajar di kelas biasa bersama teman sebayanya
yang normal. Salah satu hasil dari pengembangan ini adalah satu model yang memungkinkan
seorang anak untuk tetap berada di kelas biasa sebagian waktu belajarnya dan
menerima layanan khusus sesuai dengan kebutuhannya. Konsep inilah yang kemudian
dikenal dengan mainstreaming.
Istilah mainstreaming berasal
dari kata mainstream yang berarti masyarakat umum. Dalam PLB
katamainstreaming berarti menempatkan ABK di dalam kehidupan
masyarakat umum atau di sekolah umum, atau memberi kesempatan sebesar-besarnya
kepada ABK bersama teman-teman normalnya dengan fasilitas umum menurut
kemampuan dan potensinya. Sunardi (1995) mengemukakan konsep dasar mainstreaming ini
pada hakikatnya sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara Skandinavia,
seperti Denmark, Swedia,, dan Norwegia. Istilah mainstreaming muncul
dan menjadi popular di Amerika Serikat, setelah pertama kali diperkenalkan oleh
Bengt Nirje dari Swedia pada tahun 1969 (Reynolds dan Birch, 1988). Oleh karena
sebelumnya layanan pendidikan bagi ABK selalu diberikan secara segregatif,
gerakan mainstreaming ini juga disebut normalisasi. Normalisasi
bukan berarti membuat ABK menjadi normal, tetapi penyediaan pola dan kondisi
kehidupan sehari-hari bagi ABK sedekat mungkin dengan pola dan kondisi
masyarakat umum. Kirk dan Gallagher (1986:15) mengungkapkan bahwa normalisasi
adalah menciptakan suatu lingkungan belajar dan lingkungan social bagi anak dan
orang dewasa luar biasa senormal mungkin. Jadi, sedapat mungkin ABK harus
diintegrasikan ke masyarakat. Dan ini harus dilakukan sedini mungkin
dipersiapkan, dilayani, dan ditempatkan dalam lingkungan kehidupan di
masyarakat pada umumnya.
Pada tahun 1970-an
perkembangan PLB di Amerika Serikat ditandai dengan beberapa keputusan
pengadilan yang memenangkan kelompok ABK yang tidak memperoleh layanan
pendidikan yang layak di sekolah umum. Setiap warga negara mempunyai hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak dan bebas di sekolah umum, tidak melihat asal
suku, agama, kelompok, ataupun kecacatannya.
Puncak kemenangan ABK untuk
memperoleh layanan pendidikan yang layak adalah dengan diundangkannya Public
Law 94-142 pada tahun 1975. Pokok-pokok yang termuat dalam undang-undang
tersebut kemudian menjadi prinsip utama konsep mainstreaming ,
yaitu: Zero reject (tidak ada seorang ABK pun yang ditolak untuk belajar
di sekolah umum) Nondiscriminatory evaluation (evaluasi yang nondiskriminatif). Individualized educational programs (program pendidikan
individual). Least restrictive environment (lingkungan yang paling bebas). Parent participation (keikutsertaan orang tua).
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan
adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Mengulas kembali tentang pendidikan
sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrumen
internasional mulai dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB pada 10
Desember 1948 di Paris. Dalam deklarasi tersebut pendidikan dasar harus
diwajibkan, maka akses pendidikan harus dipandang sebagai suatu tantangan
multisisi, dengan perhatian khusus kepada kelompok – kelompok yang
terpinggirkan.
Selanjutnya hak untuk memperoleh
pendidikan di dalam sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan telah
disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti Deklarasi Jomtien di
Thailand pada tahun 1990 oleh UNESCO dan di Bangkok pada tahun 1991 yang
menghasilkan deklarasi ‘Education For All’. Implikasi dari deklarasi ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Namun, hak atas pendidikan tidak secara
otomatis mengimplikasikan inklusi.
Sebagai tindak lanjut dari
deklarasi EFA dan agar tuntutan tentang Pendidikan Inklusif semakin nyata, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol pada Juni 1994 yang mencetuskan
perlunya Pendidikan Inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca
statement on inclusive education’. Di Salamnca ini lebih memebahas tentang
Pendidikan Inklusif secara lebih detail dan dihadiri oleh Indonesia.
Dalam kofrensi dunia Salamanca prinsip
dasar pendidikan inklusif adalah “selama
memungkinkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. Tindak lanjut
dari Konfrensi Salamanca diamanatkan kepada UNESCO.
Selain itu dalam Convention on the
Right of Person with disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada
Maret disebutkan di pasal 24 “setiap
Negara wajib menyelenggarakan system pendidikan inklusif pada semua tingkatan
pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus”.