
Pendidikan dan
teknologi, keduanya telah menjadi partner bersama yang saling mempengaruhi
kehidupan manusia. Demi menciptakan pendidikan modern dan lebih efisien maka,
penerapan teknologi dalam pendidikan menjadi jalannya. Kini benyak berkembang
kelas-kelas berbasis teknologi, penggunaan perangkat komputer hingga
pemanfaatan software. Bahkan dengan teknologi internet memungkinkan seseorang
belajar jarak jauh tanpa harus bertemu langsung. Sehingga banyak orang tua
memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang telah menerapkan teknologi
dalam proses pembelajarannya.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Di sisi lain
juga ada orang tua yang justru menyekolahkan anak-anaknya yang bahkan tidak
menggunakan komputer sama sekali. Dan menariknya mereka adalah anak dari para
bos Google dan Apple. Logikanya para bos itu adalah orang-orang yang jauh
mengerti tentang teknologi bahkan sebagian dari meraka adalah pengembang
teknologi, sehingga tidak menutup kemungkinan mereka akan mewariskan keahlian
itu pada anak mereka dengan jalan mengenalkan teknologi pada usia anak-anak.
Namun, justru para teknokrat tersebut malah menyekolahkan anak-anak mereka di
sekolah yang bahkan mengharamkan komputer. Mengapa demikian?
Waldorf School
of the Peninsula sengaja membuat sistem belajar yang menjauhkan anak-anak dari
perangkat komputer. Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan
menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia,
hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran. Sekolah Waldorf
justru fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, dan kemampuan ketrampilan
tangan para murid. Anak-anak tak diajarkan mengenal perangkat tablet atau
laptop. Mereka biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut
dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah
selesai pelajaran olahraga.
Banyak anggapan
kebijakan yang Waldorf itu keliru dan menghambat kemajuan. Meski metode
pembelajaran yang mereka gunakan adalah metode berabad-abad yang lalu,
perdebatan soal penggunaan komputer dalam proses belajar-mengajar masih terus
berlanjut.Menurut para pendidik dan orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah
dasar yang baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dari komputer. Ini
disetujui oleh Alan Eagle (50), yang menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf
School of the Peninsula, "Anak saya baik-baik saja, meskipun tak tahu
bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yang lain, yang sekarang di
kelas dua SMP,juga baru saja dikenalkan pada komputer,” tutur Eagle, yang
bekerja untuk Google.
Kendati tidak
memanfaatkan teknologi sebagaimana sekolah pada umumnya, Waldorf tetap mampu
bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian Association of Waldorf School di Amerika Utara menyebutkan bahwa,
"94% siswa lulusan SMA Waldorf di Amerika Serikat di antara tahun 1994
sampai 2004 berhasil masuk di berbagai jurusan di kampus-kampus bergengsi
seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar".
Dalam mencapai
kualitas tersebut sekolah Waldorf tidak main-main dalam merekrut tenaga pengajar.
Selain berpendidikan tinggi, mereka harus memiliki jam terbang yang mumpuni.
Wajar saja jika Waldorf kemudian berhasil mengembangkan anak didik mereka
menjadi hebat dan berprestasi.
Kualitas yang
telah dibuktikan tersebut membuat para orangtua percaya pada metode pengajaran
Waldorf. Salah satu orangtua tersebut adalah Pierre Laurent (50), pendiri
startup yang sebelumnya bekerja di Intel dan Microsoft. Bahkan saking
terkesannya dengan metode Waldorf, Monica Laurent, istri Pierre, bergabung
menjadi guru di sekolah ini sejak tahun 2006.