
Yahudi dan klaimnya terhadap
wilayah Palestina sebenarnya telah terjadi sejak lama. Setelah terusir oleh
bangsa Persia lalu kemudian Romawi dari Palestina, secara status mereka sudah
tak berhak atas tanah tersebut. Namun rupanya mereka mulai menggeliat kembali
saat Perang Dunia I meletus. Saat itulah melalui agen-agennya, mereka berupaya
mendapatkan kembali tanah yang telah lama menjadi milik umat Islam selama
ribuan tahun.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Sejarah yang telah terukir di
tanah Palestina sungguh panjang. Wilayah yang saat ini tengah menghadapi
situasi memanas sejatinya merupakan tempat yang dianggap suci bagi tiga agama
besar dunia, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.
Bagi umat Islam
sendiri kota ini menjadi kota suci ketiga setelah Mekah dan Madinah. Di tempat
inilah di mana Masjid Al-Aqsa yang sangat bersejarah itu berada. Masjid yang
pernah menjadi persinggahan Nabi Muhammad pada saat Isra Mi'raj sebelum menuju
Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Sementara itu bagi bangsa
Yahudi, wilayah Yerusalem itu merupakan tanah yang telah dijanjikan. Maka sejak
ribuan tahun pula tak terhitung peperangan dan korban jiwa akibat dari
perebutan kota ini. Wilayah yang terletak di antara Laut Tengah dan Sungai
Yordan ini pernah lama ditaklukkan oleh bangsa Persia di bawah kekuasaan
Nebukadnezar II yaitu pada tahun 597 SM. Pada masa itulah orang-orang Yahudi
diusir ke Babel dan banyak bait suci yang dihancurkan.
Sementara itu
pada masa kekuasaan Cyrus Agung yang berhasil menaklukkan Babel, orang-orang
Yahudi akhirnya diizinkan kembali ke Yerusalem dan tempat-tempat suci mereka
diizinkan untuk dibangun kembali.
Pada tahun 63 Masehi,
Yerusalem berada di bawah kekuasaan Romawi yang tentu saja membuat orang-orang
Yahudi tak senang. Hanya dalam waktu 3 tahun, meletuslah perang besar antara
Yahudi melawan Romawi selama kurun waktu 4 tahun. Pada akhir peperangan, Romawi
berhasil menang. Orang-orang Yahudi yang
tersisa setelah peristiwa besar itu akhirnya harus angkat kaki. Setelah itu
selama kurang lebih 600 tahun lamanya Yerusalem berada di bawah kekuasaan
Romawi dan Bizantium.
Pada tahun 637 Masehi, selama
penaklukkan Islam di wilayah Suriah, pasukan muslim juga mulai mendekati
wilayah Yerusalem di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash. Pada
saat itu, Yerusalem berada di bawah tanggung jawab seorang uskup yang merupakan
kepala gereja di Yerusalem sekaligus perwakilan Bizantium, yaitu Uskup
Sophronius. Saat itu semua wilayah
Yerusalem sudah terkepung oleh pasukan muslim. Namun Sophronius tetap menolak
untuk menyerahkan Yerusalem, kecuali jika Khalifah Umar bin Khattab langsung
datang padanya. Mendengar hal ini, Umar bin Khattab yang berada di Madinah
langsung menuju Yerusalem.
Setelah bertemu dengan
Sophronius, kemudian diserahkanlah kunci Yerusalem itu kepada Sang Khalifah.
Penaklukkan kota Yerusalem ini sendiri berlangsung dengan damai dan ada kisah
menarik di balik penyerahan wilayah ini dari Uskup Sophronius kepada Khalifah
Umar bin Khattab yang akan dibahas pada artikel berikutnya.
Khalifah Umar
bin Khattab memberikan jaminan kepada orang-orang yang beragama selain muslim
di wilayah itu untuk hidup dengan tenang tanpa ada paksaan sedikit pun
meninggalkan keyakinan mereka. Bahkan ia menjamin harta-harta mereka serta
gereja-gereja tetap berdiri kokoh di wilayah itu tanpa ada gangguan.
Waktu pun berlalu dan wilayah
ini masih menjadi tanah kaum muslim hingga sampai pada meletusnya Perang Dunia
I. Saat Perang Dunia I berlangsung, di bawah pemerintahan Mehmed V, kekaisaran
Turki Ottoman memilih untuk bersekutu dengan Jerman melawan Inggris dan
Prancis. Situasi ini kemudian segera dimanfaatkan oleh kelompok pergerakan
nasionalisme Arab dan juga kelompok Zionis.
Kedua kelompok yang memihak
kepada Inggris ini tentunya memiliki jurnal kepentingan masing-masing. Bagi
kelompok pergerakan nasionalisme Arab, kesempatan ini digunakan untuk mencapai
tujuan dan cita-cia lama mereka yaitu memerdekakan negara-negara Arab. Hussein
bin Ali salah satu tokohnya melakukan koresponden dengan seorang Komisioner
Inggris di Mesir bernama Sir Henry McMahon.
Kedua tokoh ini
melakukan kontak melalui surat menyurat selama kurun waku 1914-1915. Dalam
surat itu menyatakan kesediaan bangsa Arab untuk bersekutu dan membantu Inggris
asalkan Inggris mengakui kemerdekaan negara-negara Arab begitu perang usai.
Gilanya, Inggris dan Prancis
kemudian menandatangani perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916 yang
isiya bertolak belakang dengan persetujuan mereka dengan kelompok pergerakan
nasionalisme Arab. Dalam perjanjian itu, keduanya justru sepakat untuk
membagi-bagi wilayah yang dahulunya milik Turki Ottoman.
Sementara itu,
gerilya diplomatik juga digencarkan pihak zionis. Tokoh Yahudi di Inggris yaitu
Lord Baron Rothschild membangun kesepakatan dengan menteri luar
negeri Inggris saat itu yaitu Arthur James Balfour. Kesepakatan ini dikenal
juga dengan Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 2 November
1917.
Deklarasi Balfour tersebu
menyepakati bahwa Inggris akan mengupayakan Palestina menjadi rumah bagi bangsa
Yahudi, namun dengan jaminan tidak akan mengganggu hak beragama bagi warga
non-Yahudi yang berada di Palestina. Deklarasi inilah yang kemudian dianggap
menjadi cikal bakal terbentuknya negara Israel yang bertempat di tanah
Palestina saat ini. Deklarasi Balfour ini
kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai antara Turki Ottoman dan sekutu
ada 10 Agustus 1920, pasca perang dunia pertama. Bagian yang paling memilukan
adalah isi dari perjanjian damai ini adalah pembagian wilayah kekuasaan Turki
Ottoman. Di mana Prancis mendapat mandat wilayah Suriah dan Lebanon, sedangkan
Inggris mendapatkan mandat wilayah Irak dan Palestina. Wilayah Palestina
sendiri dibagi dua, sebelah timur menjadi Transjordania, dan bagian timur tetap
bernama Palestina.
Selama berada di bawah
mandat Inggris inilah, orang-orang Yahudi dari segala penjuru dunia datang ke
tanah Palestina secara berbondong-bondong. Tingkat imigrasi orang-orang Yahudi
ke Palestina meningkat tajam apalagi pada saat itu mereka mendapatkan
perlindungan khusus dari Inggris. Selain itu juga pada masa itu gerakan
anti-Semit di beberapa wilayah di dunia, khususnya di Eropa tengah
marak-maraknya membuat nyawa mereka terancam. Maka pilihan untuk menempati
tanah Palestina seperti sebuah angin surga. Di sepanjang tahun 1919-1926
sekitar 100 ribu orang Yahudi tiba di Palestina dan mulai memiliki tanah-tanah
milik warga Palestina yang telah lama menetap di sana.