
Buya Hamka,
begitulah ia dipanggil oleh banyak orang. Nama yang merupakan singkatan dari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau disingkat Hamka ini, tercatat dalam
sejarah sebagai salah satu ulama terbesar dan terbaik yang pernah dimiliki oleh
Indonesia, bahkan diakui dan dipuja oleh masyarakat Malaysia, Singapura, Brunei
hingga Mesir.
Bukan hanya
sebagai ulama, gelar sebagai sastrawan dan pujangga besar, juga sangat layak
beliau sandang. Tak terhitung jumlah karangan termasyhur yang telah beliau
hasilkan. Sebut saja karya sastra berjudul “ Merantau Ke Deli”, “Terusir”,
hingga yang paling fenomenal yaitu “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang pada
tahun 2013 yang lalu diangkat kisahnya ke layar lebar oleh Soraya Intercine
Film.
Dan tentu saja
buah tangan beliau yang terbesar adalah tulisan-tulisannya di bidang
pengetahuan agama dan filsafat seperti “Tasawuf Modern”, “Falsafah Hidup” dan
mahakarya beliau yang dihasilkan saat dipenjara oleh rezim Soekarno tanpa
peradilan, yaitu “Tafsir Al-Azhar”.
Sebagai seorang
Ulama, sastrawan, politisi dan pejuang, telah banyak kisah-kisah hidup beliau
yang diceritakan oleh banyak buku biografi. Namun ternyata masih banyak
kejadian unik dan menarik dalam kehidupan pribadi beliau yang masih tersembunyi
dan tak banyak ditemui dalam berbagai literatur.
Kisah-kisah
pribadi yang unik dan menarik inilah yang kemudian yang dirangkum oleh anak
beliau yaitu Irfan Hamka dalam sebuah buku yang berjudul “Ayah…”. Buku terbitan
Penerbit Republika Tahun 2013 ini menceritakan kisah-kisah penulis bersama
ayahnya yaitu Buya Hamka, yang selama ini tidak pernah diketahui oleh publik.
Ada satu kisah
menarik yang diceritakan oleh Irfan Hamka dalam buku ini, yaitu kisah tentang
perjanjian damai antara ayahnya dengan sesosok Jin. Sebagaimana dirangkum dari
bukunya, beginilah kisah tersebut terjadi.
Kisah ini
bermula di tahun 1956, saat Buya Hamka yang bekerja di Kementrian Agama
Republik Indonesia ini, mulai mendiami sebuah rumah yang dibangunnya di Jalan
Raden Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebenarnya rumah yang pembangunannya
bersamaan dengan pembangunan Mesjid Agung Al-Azhar yang berada persis
diseberangnya ini, telah banyak kejadian-kejadian diluar logika yang dialami
pekerja yang membangun rumah tersebut. Ada banyak gangguan yang dialami
pekerja, seperti suara-suara atau langkah kaki yang tak terlihat sosoknya,
sehingga walaupun rumah itu sudah hampir rampung, untuk tidur malam para
pekerja hanya berani tidur didalam rumah bedeng kayu yang dibangun
disampingnya.
Gangguan itu
terus berlanjut hingga rumah itu di tempati. Seorang pembantu rumah tangga yang
baru direkrut, Rojito, hanya sanggup bertahan selama 2 hari saja bekerja
dirumah itu. Penyebabnya, di saat tengah terlelap di tengah malam, ia mendengar
suara orang memanggil-manggil namanya dengan suara serak dan parau. Keesokkan
paginya Rojito demam dan minta pulang.
Lain halnya
dengan yang dialami anak Hamka lainnya yaitu Rusjdi. Saat tengah malam ia
merasakan sakit perut, sehingga keluar kamar menuju ke WC. Disaat hendak ke WC
tersebut, Rusjdi merasa diikuti oleh langkah kaki bertongkat memukul-mukul
lantai. Rusjdi pun berlari masuk ke WC. Di depan pintu WC ia rasakan kalau
sosok bertongkat tadi mondar-mandir menungguinya. Rusdji tidak berani keluar
WC, hingga menjelang azan subuh saat ayahnya terdengar sudah bangun, barulah ia
berani berteriak minta tolong kepada ayahnya, mengabarkan kalau ia bersembunyi
di dalam WC.
Sejak saat itu,
setiap tengah malam keluarga Hamka didatangi oleh suara langkah kaki
bertongkat, yang berjalan mengelilingi rumah, yang oleh anak-anak Hamka sosok
tadi dijukuki sebagai “inyiak batungkek” bahasa minang yang berarti “kakek
bertongkat”. Selain itu beberapa kali ayunan di depan rumah pun berayun kencang
dengan sendirinya di tengah malam.
Bagaimana
tanggapan Hamka terhadap hal ini? Seperti dikutip dari buku “Ayah…” tadi,
diceritakan bahwa disaat anak istrinya meminta agar mereka pindah rumah saja,
Hamka berkata “Bagaimana mungkin rumah dari hasil usaha susah payah ini akan
ditinggalkan begitu saja? kalau perlu kita tempati rumah ini bersama-sama
secara damai. Besok malam kita coba untuk menghubungi pemilik bunyi itu”
ujarnya.
Keesokan
malamnya, Hamka mengajak 2 anak lelaki tertuanya yaitu Zaki dan Rusdji untuk
berkumpul di ruang tengah. Malam itu Hamka memang telah merencanakan untuk
mengundang “inyiak batungkek” untuk datang berdialog dengan sosok yang selama
ini mengganggu mereka. Istrinya dan anak-anak lain yang masih kecil, termasuk
Irfan sang penulis buku, disuruh mengunci diri di kamar. Irfan sang penulis
mengintip di lubang pintu dan menguping apa yang akan terjadi diruang tengah.
Pukul 11 malam,
setelah berwudhu’, Hamka memimpin kedua anaknya shalat sunat 2 rakaat. Kemudian
mereka bertiga berzikir dan bershalawat. Hamka terus berzikir dan melafazkan
do’a-do’a.
Menjelang pukul
12, “sesuatu” yang mereka tunggu tampaknya datang. Dari teras depan, terdengar
suara langkah kaki dengan tongkat yang mengetuk-ngetuk lantai. Makin lama suara
itu terdengar semakin dekat, hingga akhirnya terasa sampai di depan pintu
depan.
Kedua anaknya
mulai merapat kepada Hamka, sedangkan Hamka terlihat tenang. “Assalamu’alaikum
ya Abdillah (hamba Allah), kami sengaja menunggu kedatangan saudara”, Hamka
memulai menyapa. “Apakah saudara bisa mendengar saya? Kalau bisa, ketuk tiga
kali”, lanjut Hamka. “TOK..TOK..TOK…”, terdengar 3 ketukan diluar pintu,
merespon pertanyaan Hamka.
“Rumah ini
dengan susah payah saya bangun untuk tempat hidup anak dan istri saya, dengan
peluh keringat yang saya tabung bertahun-tahun. Tidak mungkin saya tinggalkan
rumah ini hanya karena saudara ganggu dan takut-takuti anak dan istri saya. Kalau
memang itu tujuan saudara, ketuk satu kali. Jika bukan itu tujuan saudara ketuk
dua kali”, Hamka berujar dengan jelas dan lantang.
Hening sesaat,
ditunggu berapa lama tak ada jawaban yang terdengar. “Kalau saudara memang
bermaksud ingin menakuti keluarga saya, saya katakan bahwa saya sanggup
mengusir saudara sekarang juga”, Hamka akhirnya melanjutkan dengan suara yang
menggelegar.
“TOK…TOK….”
akhirnya terdengar juga jawaban dari teras luar.
“Saya tidak
mengingkari kehendak Allah, karena kami beriman kepada Allah. Apakah saudara
beriman kepada Allah? Ketuk satu kali jika iya”, lanjut Hamka. “TOK…..” ketukan
terdengar kembali dari luar.
“Apakah saudara
senang tinggal dirumah ini?ketuk satu kali jika ya, jika tidak ketuk dua
kali…”, Hamka melanjutan percakapannya. “TOK….” terdengar lagi jawaban dari
“Inyiak batungkek”.
“Kalau saudara
memang senang tinggal disini, mari kita diami rumah ini bersama-sama secara
damai dan saling menghormati. Saya telah serahkan penjagaan rumah ini kepada
Allah semata. Tolong dimengerti dan diperhatikan. Kalau setuju ketok tiga
kali”, terang Hamka.
“TOK…TOK…TOK...”jawaban
segera terdengar dari luar.
Hamka akhirnya
melantunkan do’a yang kemudian diaminkan oleh kedua anak lelaknya. Setelah
“perjanjian perdamaian” dimalam itu, tidak ada lagi gangguan yang dirasakan
oleh keluarga Hamka di rumah itu.