x9iXyGPMXQeKKlpX8lac8UjwJ5Wv9XduLyNcwRkJ

Inilah Kisah Buya Hamka Ketika “Berdamai” Dengan Jin

Inilah Kisah Buya Hamka Ketika “Berdamai” Dengan Jin
Buya Hamka, begitulah ia dipanggil oleh banyak orang. Nama yang merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau disingkat Hamka ini, tercatat dalam sejarah sebagai salah satu ulama terbesar dan terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, bahkan diakui dan dipuja oleh masyarakat Malaysia, Singapura, Brunei hingga Mesir.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya 

Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Bukan hanya sebagai ulama, gelar sebagai sastrawan dan pujangga besar, juga sangat layak beliau sandang. Tak terhitung jumlah karangan termasyhur yang telah beliau hasilkan. Sebut saja karya sastra berjudul “ Merantau Ke Deli”, “Terusir”, hingga yang paling fenomenal yaitu “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang pada tahun 2013 yang lalu diangkat kisahnya ke layar lebar oleh Soraya Intercine Film.

Dan tentu saja buah tangan beliau yang terbesar adalah tulisan-tulisannya di bidang pengetahuan agama dan filsafat seperti “Tasawuf Modern”, “Falsafah Hidup” dan mahakarya beliau yang dihasilkan saat dipenjara oleh rezim Soekarno tanpa peradilan, yaitu “Tafsir Al-Azhar”.

Sebagai seorang Ulama, sastrawan, politisi dan pejuang, telah banyak kisah-kisah hidup beliau yang diceritakan oleh banyak buku biografi. Namun ternyata masih banyak kejadian unik dan menarik dalam kehidupan pribadi beliau yang masih tersembunyi dan tak banyak ditemui dalam berbagai literatur.



Kisah-kisah pribadi yang unik dan menarik inilah yang kemudian yang dirangkum oleh anak beliau yaitu Irfan Hamka dalam sebuah buku yang berjudul “Ayah…”. Buku terbitan Penerbit Republika Tahun 2013 ini menceritakan kisah-kisah penulis bersama ayahnya yaitu Buya Hamka, yang selama ini tidak pernah diketahui oleh publik.

Ada satu kisah menarik yang diceritakan oleh Irfan Hamka dalam buku ini, yaitu kisah tentang perjanjian damai antara ayahnya dengan sesosok Jin. Sebagaimana dirangkum dari bukunya, beginilah kisah tersebut terjadi.

Kisah ini bermula di tahun 1956, saat Buya Hamka yang bekerja di Kementrian Agama Republik Indonesia ini, mulai mendiami sebuah rumah yang dibangunnya di Jalan Raden Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebenarnya rumah yang pembangunannya bersamaan dengan pembangunan Mesjid Agung Al-Azhar yang berada persis diseberangnya ini, telah banyak kejadian-kejadian diluar logika yang dialami pekerja yang membangun rumah tersebut. Ada banyak gangguan yang dialami pekerja, seperti suara-suara atau langkah kaki yang tak terlihat sosoknya, sehingga walaupun rumah itu sudah hampir rampung, untuk tidur malam para pekerja hanya berani tidur didalam rumah bedeng kayu yang dibangun disampingnya.



Gangguan itu terus berlanjut hingga rumah itu di tempati. Seorang pembantu rumah tangga yang baru direkrut, Rojito, hanya sanggup bertahan selama 2 hari saja bekerja dirumah itu. Penyebabnya, di saat tengah terlelap di tengah malam, ia mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dengan suara serak dan parau. Keesokkan paginya Rojito demam dan minta pulang.

Lain halnya dengan yang dialami anak Hamka lainnya yaitu Rusjdi. Saat tengah malam ia merasakan sakit perut, sehingga keluar kamar menuju ke WC. Disaat hendak ke WC tersebut, Rusjdi merasa diikuti oleh langkah kaki bertongkat memukul-mukul lantai. Rusjdi pun berlari masuk ke WC. Di depan pintu WC ia rasakan kalau sosok bertongkat tadi mondar-mandir menungguinya. Rusdji tidak berani keluar WC, hingga menjelang azan subuh saat ayahnya terdengar sudah bangun, barulah ia berani berteriak minta tolong kepada ayahnya, mengabarkan kalau ia bersembunyi di dalam WC.

Sejak saat itu, setiap tengah malam keluarga Hamka didatangi oleh suara langkah kaki bertongkat, yang berjalan mengelilingi rumah, yang oleh anak-anak Hamka sosok tadi dijukuki sebagai “inyiak batungkek” bahasa minang yang berarti “kakek bertongkat”. Selain itu beberapa kali ayunan di depan rumah pun berayun kencang dengan sendirinya di tengah malam.

Bagaimana tanggapan Hamka terhadap hal ini? Seperti dikutip dari buku “Ayah…” tadi, diceritakan bahwa disaat anak istrinya meminta agar mereka pindah rumah saja, Hamka berkata “Bagaimana mungkin rumah dari hasil usaha susah payah ini akan ditinggalkan begitu saja? kalau perlu kita tempati rumah ini bersama-sama secara damai. Besok malam kita coba untuk menghubungi pemilik bunyi itu” ujarnya.

Keesokan malamnya, Hamka mengajak 2 anak lelaki tertuanya yaitu Zaki dan Rusdji untuk berkumpul di ruang tengah. Malam itu Hamka memang telah merencanakan untuk mengundang “inyiak batungkek” untuk datang berdialog dengan sosok yang selama ini mengganggu mereka. Istrinya dan anak-anak lain yang masih kecil, termasuk Irfan sang penulis buku, disuruh mengunci diri di kamar. Irfan sang penulis mengintip di lubang pintu dan menguping apa yang akan terjadi diruang tengah.

Pukul 11 malam, setelah berwudhu’, Hamka memimpin kedua anaknya shalat sunat 2 rakaat. Kemudian mereka bertiga berzikir dan bershalawat. Hamka terus berzikir dan melafazkan do’a-do’a.

Menjelang pukul 12, “sesuatu” yang mereka tunggu tampaknya datang. Dari teras depan, terdengar suara langkah kaki dengan tongkat yang mengetuk-ngetuk lantai. Makin lama suara itu terdengar semakin dekat, hingga akhirnya terasa sampai di depan pintu depan.

Kedua anaknya mulai merapat kepada Hamka, sedangkan Hamka terlihat tenang. “Assalamu’alaikum ya Abdillah (hamba Allah), kami sengaja menunggu kedatangan saudara”, Hamka memulai menyapa. “Apakah saudara bisa mendengar saya? Kalau bisa, ketuk tiga kali”, lanjut Hamka. “TOK..TOK..TOK…”, terdengar 3 ketukan diluar pintu, merespon pertanyaan Hamka.

“Rumah ini dengan susah payah saya bangun untuk tempat hidup anak dan istri saya, dengan peluh keringat yang saya tabung bertahun-tahun. Tidak mungkin saya tinggalkan rumah ini hanya karena saudara ganggu dan takut-takuti anak dan istri saya. Kalau memang itu tujuan saudara, ketuk satu kali. Jika bukan itu tujuan saudara ketuk dua kali”, Hamka berujar dengan jelas dan lantang.

Hening sesaat, ditunggu berapa lama tak ada jawaban yang terdengar. “Kalau saudara memang bermaksud ingin menakuti keluarga saya, saya katakan bahwa saya sanggup mengusir saudara sekarang juga”, Hamka akhirnya melanjutkan dengan suara yang menggelegar.

“TOK…TOK….” akhirnya terdengar juga jawaban dari teras luar.

“Saya tidak mengingkari kehendak Allah, karena kami beriman kepada Allah. Apakah saudara beriman kepada Allah? Ketuk satu kali jika iya”, lanjut Hamka. “TOK…..” ketukan terdengar kembali dari luar.

“Apakah saudara senang tinggal dirumah ini?ketuk satu kali jika ya, jika tidak ketuk dua kali…”, Hamka melanjutan percakapannya. “TOK….” terdengar lagi jawaban dari “Inyiak batungkek”.

“Kalau saudara memang senang tinggal disini, mari kita diami rumah ini bersama-sama secara damai dan saling menghormati. Saya telah serahkan penjagaan rumah ini kepada Allah semata. Tolong dimengerti dan diperhatikan. Kalau setuju ketok tiga kali”, terang Hamka.

“TOK…TOK…TOK...”jawaban segera terdengar dari luar.

Hamka akhirnya melantunkan do’a yang kemudian diaminkan oleh kedua anak lelaknya. Setelah “perjanjian perdamaian” dimalam itu, tidak ada lagi gangguan yang dirasakan oleh keluarga Hamka di rumah itu.