
Berikut
adalah penjelasan lebih lengkapnya:
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Dalam
perkara pidana
Pada prinsipnya sidang putusan suatu perkara pidana harus dihadiri oleh terdakwa, hal ini berdasarkan Pasal 196 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan: ”Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain”.
Selain
itu, juga terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang
Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwa/Terpidana
"In Absentia" yang pada intinya memerintahkan hakim untuk menolak
penasihat hukum/pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak
mau hadir dalam pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalannya
pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya.
Namun,
terhadap ketentuan Pasal 196 KUHAP terdapat suatu penyimpangan dalam
perkara pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur Pasal 213 KUHAP yang
menyatakan bahwa “terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang”. Selain itu, Pasal 214 ayat (1) dan ayat
(2) KUHAP menyatakan:
(1) Jika
terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan;
(2) Dalam
hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana;
Di
samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1985
tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa “Mahkamah Agung
berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat
(baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas
jalan) dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP
berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”.
Jadi, hukum acara
pidana tidak hanya mengakui keberadaan persidangan secara in absentia untuk
perkara pelanggaran lalu lintas jalan, melainkan berlaku juga bagi perkara tindak
pidana ringan (lihat Pasal 205 KUHAP).
Selain itu,
persidangan in absentia secara khusus diatur dalam beberapa undang-undang
lainnya, antara lain:
-
Pasal 38 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah
dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.”
-
Pasal 79 ayat (1) UU No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
yang menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan
patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara
dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
-
Pasal 79 UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45
Tahun 2009 yang menyatakan, “Pemeriksaan di sidang pengadilan
dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Dalam Angka 3 Surat Edaran
Mahkamah Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang
No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan, disebutkan bahwa, “Pemeriksaan di
sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
adalah dalam pengertian perkara in absentia, yaitu terdakwa sejak sidang
pertama tidak pernah hadir di persidangan.”
Dengan demikian,
dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, serta tindak
pidana perikanan dimungkinkan pula suatu persidangan dan pembacaan putusan
tanpa dihadiri terdakwa.
Dalam
perkara perdata
Dalam hukum acara
perdata, pengaturan in absentia terdapat dalam Pasal 125 Herzien
Inlandsch Reglement (“HIR”) yang menyatakan: “Jika tergugat tidak datang pada
hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap
mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima
dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa
pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.” Dalam penjelasan Pasal
125 HIR dijelaskan bahwa putusan "verstek" atau "in
absentia", berarti putusan tak hadir (tanpa dihadiri oleh tergugat).
Jadi, berdasarkan pengaturan Pasal 125 HIR, apabila
terhadap seorang tergugat telah dilakukan pemangilan secara patut namun
panggilan pengadilan tidak dipenuhi, maka perkara dapat diputus tanpa kehadiran
tergugat.
Dalam
perkara tata usaha negara
Persidangan
secara in absentia juga dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal
72 ayat (2) UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 9
Tahun 2004 dan UU No. 51
Tahun 2009, menyatakan “dalam hal setelah lewat dua bulan
sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat,
maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan
sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.”
Sekian jawaban dari
kami, semoga membantu.