
Di
tengah-tengah wawancara hangat bersama Bung Karno oleh Jurnalis cantik asal
Amerika bernama Cindy Adams,
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Cindy
mengajukan sebuah pertanyaan unik. “Tuan, mengapa anda selalu mengenakan
seragam?” tanya Cindy.
Bung
menjawab “Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi. Rakyatku
sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan
tahun, mereka sudah lama diperbudak,”
“Setelah
kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka
sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam.” Tambahnya.
Cindy
membalas pernyataan itu dengan kalimat memuja disertai tatapan mata yang lekat,
“Saya
tidak percaya terhadap semua penjelasanmu. Saya yakin, kau selalu memakai
pakaian seragam karena kau sendiri sadar, dirimu terlihat tampan jika
memakainya.”
Bung
terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Kamu benar, tapi tolong jangan ceritakan
keluar.”
Satu kesimpulan
yang bisa ditarik dari tanya-jawab singkat tersebut, Bung Karno memakai seragam
khas militer sebagai suatu simbol kebanggaan terhadap perjuangan rakyat
Indonesia.
Hal serupa
dilakukan oleh beberapa pemimpin Asia Tenggara lainnya, dengan gaya ikonik yang
berbeda-beda pula. Politik berpakaian memang kerap ditampilkan oleh pemimpin
negara di Asia Tenggara, terutama setelah negerinya merdeka dari belenggu
kolonialisme.

Jose
Rizal,
pemimpin gerakan nasionalis Filipina dalam berbagai kesempatan selalu terlihat
mengenakan jas mantel, tak peduli cuaca panas atau dingin, Jas mantel buatan
Hong Kong itu selalu membaluti tubuhnya. Menurut
Karim Raslan, jas mantel Jose Rizal merupakan simbol perlawanan. Filipina
dijajah Spanyol selama empat ratus tahun. Dalam masa-masa penjajahan tersebut,
penduduk pribumi Filipina termasuk Rizal sendiri begitu tersudut dan
terkucilkan. “Baginya, menulis dalam bahasa Spanyol
dan memperagakan segala perlengkapan lelaki budiman penghujung era Victoria
mengampuhkan rasa kebanggaan nasional,”

Kemudian Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura
periode 1959-1990. Beliau memiliki ciri khas dengan kemeja putihnya. Hal ini
bisa jadi melambangkan egalitarianisme Lee yang memimpin Singapura dengan
berbagai etnis dan kelas sosial di dalamnya. “Kesederhanaan
jelas kemeja putih itu akan membantu merapatkan sedikit jurang perbedaan
etnik,” tulis Karim.

Di negeri
tetangga, Malaysia, Tunku Abdul Rahman
memiliki gaya busana yang tampak 'eye-catching'. Dengan balutan kain sutera
dilengkapi selempang dan aneka hiasan, pakaian resminya begitu mencolok di
pandang mata. Potretnya kini masih terpampang dalam mata uang ringgit. “Pakaian resmi gilang gemilang dan mahal
zaman itu mencerminkan ciri feodal yang terus didaulatkan oleh masyarakat
Melayu,” tulis Karim.
Sedangkan untuk
Soekarno, menurut Karim, penampilannya memang melambangkan citra diri penuh
kebanggaan. Dalam berbagai kesempatan, entah itu kunjungan kenegaraan atau
sekedar perjamuan santai, Soekarno selalu mengenakan seragam militer rancangannya
sendiri, lengkap dengan beraneka ragam lencana, kendati dirinya tidak memiliki
latar belakang militer. Tak lupa kaca mata hitam, tongkat komando, dan semakin
sedap dipandang mata dengan peci hitamnya. “Indonesia
harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa
percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku
meninggalkan mereka. Saat ini Soekarnolah yang menjadi faktor pemersatu
Indonesia.” Dalam otobiografinya yang bertajuk 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat'.