x9iXyGPMXQeKKlpX8lac8UjwJ5Wv9XduLyNcwRkJ

Qatar, From nothin to Something!

Qatar, From nothin to Something!
Qatar bukan apa-apa sebelum deposit minyak bumi ditemukan pada tahun 1939. Wilayah itu awalnya hanyalah negara kecil di semenanjung yang menjorok ke Teluk Persia. Bentuknya menyerupai tetesan air mata yang bulat lonjong. Perekonomiannya saat itu didominasi oleh penggembalaan unta dan domba serta industri mutiara yang dikelola secara tradisional. Pada beberapa waktu, penduduk Qatar sangat miskin. Angka kelaparan cukup tinggi dan karena ketiadaan pembangkit listrik, praktis pada malam hari diselimuti kegelapan.
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya 

Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Ia bukan negara atau entitas yang bisa bersuara lantang di forum dunia kala itu. Bertahun-tahun wilayahnya dikuasai oleh Turki Usmani hingga entitas raksasa itu melepas klaimnya pada 1916. Lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Pepatah Melayu tersebut agaknya tepat untuk menggambarkan bagaimana perpolitikan di Timur Tengah saat itu. Lepas dari Turki Usmani, Qatar menjadi protektorat Inggris.

Bukti lain bahwa Qatar bukan negara yang kuat dan diperhitungkan terlihat dari perseteruan eksternal yang berdampak besar bagi kehidupan warganya. Dua kali perang dunia terjadi, dua kali pula warga Qatar menderita akibat komoditas utama mereka (mutiara) tidak laku. Khususnya Perang Dunia II, perang besar terakhir dalam sejarah umat manusia itu (semoga, amin) menggagalkan upaya ekstraksi minyak bumi di sana kala itu.

Pada tahun 1971, Qatar meraih kemerdekaannya. Dua dekade pertama digunakan oleh pemimpinnya untuk membangun negeri. Dekade itu, tak ada gedung tinggi dan jalanan mulus di sana. Jangankan di wilayah-wilayah seperti Salwa, Dukhan, atau Zubarah, ibukota Doha pun masih merupakan permukiman kecil tanpa sanitasi yang baik. Memanfaatkan pendapatan dari sektor minyak, Qatar pelan-pelan mengejar ketertinggalan. Jalan, pelabuhan, dan jaringan listrik adalah hal-hal pertama yang diprioritaskan. Setelah itu, kilang, bandar udara, fasilitas kesehatan, dan fasilitas luxury mulai dibangun. Gurun pasir mulai ditata dan berubah menjadi metropolitan.

Populasinya yang kecil dan pendapatan yang besar membuat Qatar dapat menyimpan dana dalam jumlah yang fantastis. Pelbagai lapangan pekerjaan pun tersedia melalui pemajuan industri perminyakan negara itu. Angka pengangguran menurun drastis. The Peninsula bahkan sampai mengimpor tenaga kerja dari luar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi proyek-proyek besar dalam negeri. Angka imigrasi masuknya termasuk yang paling tinggi di Timur Tengah. Kebetulan, sebagian besar dari mereka berasal dari Asia Selatan terutama India dan Pakistan.

Kekuatan Qatar mulai meroket sejak penemuan gas alam. Tak hanya sekadar gas alam. Negara Teluk Persia ini memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia yang terletak di Ladang Gas Persia Selatan (Qatar menyebutnya North Gas Field). Ladang gas masa depan dunia itu berada di perbatasan Qatar dan Iran. Ini pula yang menjadi alasan mengapa Qatar tidak seperti beberapa Negara Teluk lain yang memusuhi Iran. Sebaliknya, Doha dan Teheran memiliki hubungan bilateral yang baik satu sama lain. Eksploitasi gas alam dan minyak lantas menjadikan Qatar sebagai negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Qatar bertransformasi menjadi negara yang modern dengan sektor pendidikan yang kuat yang tercermin dari IPMnya yang tinggi, tertinggi di antara negara-negara Arab. Kini, ibukotanya —Doha menjelma menjadi kota tepi laut yang bermandikan cahaya pada malam hari.

Pemimpin Qatar memiliki visi yang besar. Dalam visi tersebut, Qatar dinilai mampu untuk menjadi kekuatan regional bahkan dunia. The Peninsula pada akhirnya tak lagi sebatas mengekor pada Arab Saudi dan menuruti segala kepentingannya. Ia menjadi semakin independen dan mencoba mengembangkan soft powernya sendiri. Atas hal ini, semenanjung kecil di Teluk Persia itu mulai memicu kemarahan Arab Saudi. Negara dengan luas setengah dari Provinsi Bengkulu itu mulai mengembangkan pengaruhnya melalui media Aljazeera yang kerap mengkritik monarki-monarki lain di Timur Tengah yang membuat monarki-monarki tersebut berang terhadap Qatar. Mendanai Ikhwanul Muslimin, mendanai gaji masyarakat Gaza, mendukung perdamaian Amerika Serikat-Taliban, membeli lebih banyak persenjataan, menampung militer Amerika Serikat di Al-Udeid which is terbesar di Timur Tengah dan militer Turki, serta terpilih sebagai tuan rumah pelbagai perhelatan tingkat dunia terutama Piala Dunia FIFA 2022 adalah sederet bukti yang menunjukkan peningkatan status Qatar dari yang tidak diperhitungkan menjadi entitas yang (lebih) didengar di forum dunia.

Qatar sudah masuk tahun kedua diblokade oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab beserta kroni-kroninya? Masa sih negara kuat ada yang blokade? Jadi, seperti ini lho kawan-kawan tersayang. Negara kuat bukan berarti tidak ada yang berani memblokade ya. Uni Soviet saja pernah lho diblokade dan diembargo. Embargo biji-bijian namanya, yang dihapus pada masa Presiden Reagan tahun 1981. Silakan koreksi apabila salah. Pun Jepang sebelum Perang Dunia II yang sudah termasuk great power mendapat blokade ekonomi dari Amerika Serikat yang dijawab Jepang dengan menyerang Pearl Harbor.

Blokade oleh Saudi, UEA, dan kroni-kroni tak berdampak destruktif terhadap Qatar dan pembangunan nasional mereka. Blokade mereka telah gagal. Perekonomian Qatar ternyata lebih kuat dibandingkan perkiraan banyak orang, termasuk pihak pemblokade. Tepat beberapa waktu setelah blokade, Qatar segera menemukan sumber-sumber baru yang siap memasok pelbagai bahan yang dibutuhkan di dalam negeri, baik dari Turki dan Iran khususnya, maupun Pakistan dan Tiongkok.

Blokade pula yang telah menyuntikkan moral secara signifikan bagi warga Qatar. Rasa nasionalisme mereka bertambah kuat, siap menyongsong Qatar yang gagah dan disegani. Tak lupa, terlepas ketiadaan fans akibat dilarang memasuki UEA yang menjadi tuan rumah Piala Asia 2019, Qatar berhasil melibas musuh bebuyutan Arab Saudi 2–0 tanpa balas di hadapan seisi stadion yang mencemooh mereka. Kemenangan atas Saudi membuktikan bahwa Qatar BISA. Namun, tiada yang lebih indah selain kemenangan 4–0 atas tuan rumah di babak semifinal.

Qatar menang telak di hadapan puluhan ribu pendukung UEA yang sejak awal pertandingan sudah sangat tidak bersahabat. Mulai dari teriakan dan cemoohan saat lagu kebangsaan mereka diputar hingga amarah fans UEA saat kebobolan untuk yang ketiga kali tanpa berkesempatan untuk membalas. Amarah itu terwujud melalui pelemparan sepatu dan botol minuman. Khususnya sepatu, benda yang satu ini dianggap sebagai insult alias hinaan tertinggi bagi masyarakat Timur Tengah. Oh ya, ada yang ingat kasus pelemparan sepatu terhadap Bush oleh jurnalis di Irak?

Terlepas semuanya, toh Qatar tetap menang. Dan menang lagi pada babak final, 3–1 melawan Jepang. Selamat atas gelar juaranya, Qatar. Finally, tuan rumah Piala Dunia 2022 punya sebuah prestasi yang pantas dibanggakan untuk membungkam mereka yang selalu bilang, “Qatar tak pantas menyelenggarakan gelaran kejuaraan dunia sepak bola sejagat karena tak punya budaya sepak bola yang kuat.”.

Ya, itulah Qatar. Negara Arab kecil di Teluk Persia yang sedang diblokade, tapi perekonomiannya terus bertumbuh secara positif. Negara yang bertransformasi dari yang tak didengar (unheard) menjadi negara yang didengar di kancah internasional.