
Qatar bukan
apa-apa sebelum deposit minyak bumi ditemukan pada tahun 1939. Wilayah
itu awalnya hanyalah negara kecil di semenanjung yang menjorok ke Teluk Persia.
Bentuknya menyerupai tetesan air mata yang bulat lonjong. Perekonomiannya saat
itu didominasi oleh penggembalaan unta dan domba serta industri mutiara yang
dikelola secara tradisional. Pada beberapa waktu, penduduk Qatar sangat miskin.
Angka kelaparan cukup tinggi dan karena ketiadaan pembangkit listrik, praktis
pada malam hari diselimuti kegelapan.
Ia bukan negara
atau entitas yang bisa bersuara lantang di forum dunia kala itu. Bertahun-tahun
wilayahnya dikuasai oleh Turki Usmani hingga entitas raksasa itu melepas
klaimnya pada 1916. Lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Pepatah Melayu
tersebut agaknya tepat untuk menggambarkan bagaimana perpolitikan di Timur
Tengah saat itu. Lepas dari Turki Usmani, Qatar menjadi protektorat Inggris.
Bukti lain bahwa
Qatar bukan negara yang kuat dan diperhitungkan terlihat dari perseteruan eksternal
yang berdampak besar bagi kehidupan warganya. Dua kali perang dunia terjadi,
dua kali pula warga Qatar menderita akibat komoditas utama mereka (mutiara)
tidak laku. Khususnya Perang Dunia II, perang besar terakhir dalam sejarah umat
manusia itu (semoga, amin) menggagalkan upaya ekstraksi minyak bumi di sana
kala itu.
Pada tahun 1971,
Qatar meraih kemerdekaannya. Dua dekade pertama digunakan oleh pemimpinnya
untuk membangun negeri. Dekade itu, tak ada gedung tinggi dan jalanan mulus di
sana. Jangankan di wilayah-wilayah seperti Salwa, Dukhan, atau Zubarah, ibukota
Doha pun masih merupakan permukiman kecil tanpa sanitasi yang baik.
Memanfaatkan pendapatan dari sektor minyak, Qatar pelan-pelan mengejar
ketertinggalan. Jalan, pelabuhan, dan jaringan listrik adalah hal-hal pertama
yang diprioritaskan. Setelah itu, kilang, bandar udara, fasilitas kesehatan,
dan fasilitas luxury mulai dibangun. Gurun pasir mulai ditata dan berubah
menjadi metropolitan.
Populasinya yang
kecil dan pendapatan yang besar membuat Qatar dapat menyimpan dana dalam jumlah
yang fantastis. Pelbagai lapangan pekerjaan pun tersedia melalui pemajuan
industri perminyakan negara itu. Angka pengangguran menurun drastis. The
Peninsula bahkan sampai mengimpor tenaga kerja dari luar untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kerja bagi proyek-proyek besar dalam negeri. Angka imigrasi
masuknya termasuk yang paling tinggi di Timur Tengah. Kebetulan,
sebagian besar dari mereka berasal dari Asia Selatan terutama India dan
Pakistan.
Kekuatan Qatar
mulai meroket sejak penemuan gas alam. Tak hanya sekadar gas alam. Negara Teluk
Persia ini memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia yang terletak di Ladang
Gas Persia Selatan (Qatar menyebutnya North Gas Field). Ladang gas masa depan
dunia itu berada di perbatasan Qatar dan Iran. Ini pula yang menjadi alasan
mengapa Qatar tidak seperti beberapa Negara Teluk lain yang memusuhi Iran.
Sebaliknya, Doha dan Teheran memiliki hubungan bilateral yang baik satu sama
lain. Eksploitasi gas alam dan minyak lantas menjadikan Qatar sebagai negara
dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Qatar bertransformasi menjadi
negara yang modern dengan sektor pendidikan yang kuat yang tercermin dari
IPMnya yang tinggi, tertinggi di antara negara-negara Arab. Kini, ibukotanya
—Doha menjelma menjadi kota tepi laut yang bermandikan cahaya pada malam hari.
Pemimpin Qatar
memiliki visi yang besar. Dalam visi tersebut, Qatar dinilai mampu untuk
menjadi kekuatan regional bahkan dunia. The
Peninsula pada akhirnya tak lagi sebatas mengekor pada Arab Saudi dan menuruti
segala kepentingannya. Ia menjadi semakin independen dan mencoba mengembangkan
soft powernya sendiri. Atas hal ini, semenanjung kecil di Teluk Persia itu
mulai memicu kemarahan Arab Saudi. Negara dengan luas setengah dari Provinsi
Bengkulu itu mulai mengembangkan pengaruhnya melalui media Aljazeera yang kerap
mengkritik monarki-monarki lain di Timur Tengah yang membuat monarki-monarki
tersebut berang terhadap Qatar. Mendanai Ikhwanul Muslimin, mendanai gaji masyarakat
Gaza, mendukung perdamaian Amerika Serikat-Taliban, membeli lebih banyak
persenjataan, menampung militer Amerika Serikat di Al-Udeid which is terbesar
di Timur Tengah dan militer
Turki, serta terpilih sebagai tuan rumah pelbagai perhelatan tingkat dunia
terutama Piala Dunia FIFA 2022 adalah sederet bukti yang menunjukkan
peningkatan status Qatar dari yang tidak diperhitungkan menjadi entitas yang
(lebih) didengar di forum dunia.
Qatar sudah masuk tahun kedua diblokade oleh Arab Saudi dan Uni Emirat
Arab beserta kroni-kroninya? Masa sih negara kuat ada yang blokade? Jadi,
seperti ini lho kawan-kawan tersayang. Negara kuat bukan berarti tidak ada yang
berani memblokade ya. Uni Soviet saja pernah lho diblokade dan diembargo.
Embargo biji-bijian namanya, yang dihapus pada masa Presiden Reagan tahun 1981. Silakan
koreksi apabila salah. Pun Jepang sebelum Perang Dunia II yang sudah termasuk
great power mendapat blokade ekonomi dari Amerika Serikat yang dijawab Jepang
dengan menyerang Pearl Harbor.
Blokade oleh
Saudi, UEA, dan kroni-kroni tak berdampak destruktif terhadap Qatar dan
pembangunan nasional mereka. Blokade mereka telah gagal. Perekonomian
Qatar ternyata lebih kuat dibandingkan perkiraan banyak orang, termasuk pihak
pemblokade. Tepat beberapa waktu setelah blokade, Qatar segera menemukan
sumber-sumber baru yang siap memasok pelbagai bahan yang dibutuhkan di dalam
negeri, baik dari Turki dan Iran khususnya, maupun Pakistan dan Tiongkok.
Blokade pula yang
telah menyuntikkan moral secara signifikan bagi warga Qatar. Rasa nasionalisme
mereka bertambah kuat, siap menyongsong Qatar yang gagah dan disegani. Tak
lupa, terlepas ketiadaan fans akibat dilarang memasuki UEA yang menjadi tuan
rumah Piala Asia 2019, Qatar berhasil melibas musuh bebuyutan Arab Saudi 2–0
tanpa balas di hadapan seisi stadion yang mencemooh mereka. Kemenangan atas
Saudi membuktikan bahwa Qatar BISA. Namun, tiada yang lebih indah selain
kemenangan 4–0 atas tuan rumah di babak semifinal.
Qatar menang
telak di hadapan puluhan ribu pendukung UEA yang sejak awal pertandingan sudah
sangat tidak bersahabat. Mulai dari teriakan dan cemoohan saat lagu kebangsaan
mereka diputar hingga amarah fans UEA saat kebobolan untuk yang ketiga kali
tanpa berkesempatan untuk membalas. Amarah itu terwujud melalui pelemparan
sepatu dan botol minuman. Khususnya sepatu, benda yang satu ini dianggap
sebagai insult alias hinaan tertinggi bagi masyarakat Timur Tengah. Oh ya, ada
yang ingat kasus pelemparan sepatu terhadap Bush oleh jurnalis di Irak?
Terlepas
semuanya, toh Qatar tetap menang. Dan menang lagi pada babak final, 3–1 melawan
Jepang. Selamat atas gelar juaranya, Qatar. Finally, tuan rumah Piala Dunia
2022 punya sebuah prestasi yang pantas dibanggakan untuk membungkam mereka yang
selalu bilang, “Qatar tak pantas menyelenggarakan gelaran kejuaraan dunia sepak
bola sejagat karena tak punya budaya sepak bola yang kuat.”.
Ya, itulah
Qatar. Negara Arab kecil di Teluk Persia yang sedang diblokade, tapi
perekonomiannya terus bertumbuh secara positif. Negara yang bertransformasi
dari yang tak didengar (unheard) menjadi negara yang didengar di kancah
internasional.