Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Sufi adalah
sebutan untuk orang-orang yang mendalami tasawuf. Tasawuf atau sufisme sendiri,
bagi kalangan yang mendalaminya, bukanlah suatu hal yang terpisah dari ajaran
Islam karena banyak sufi-sufi ternama di abad-abad pertengahan dulu yang juga
adalah ulama (orang berilmu), yang banyak menghasilkan karya-karya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kesusastraan.
Bila dibandingkan
dengan fikih (dalam pemaknaannya sebagai hukum-hukum Islam yang tertulis), yang
berlaku secara fisik, maka tasawuf diibaratkan sebagai “fikih bathin”. Jika
fikih memberikan aturan dan hukuman bagi tindakan-tindakan yang melanggar
hukum-hukum Islam, maka tasawuf mengatur dan memberikan sangsi terhadap
niatan-niatan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran itu.
Tentu saja,
analogi di atas adalah analogi yang sangat disederhanakan untuk memberikan
gambaran awal bagi kalangan awam yang ingin tahu apa yang sebenarnya diajarkan
dalam tasawuf, yang saya rasa masih cukup sesuai untuk dituliskan di sini.
Lebih lanjut,
banyak yang memandang tasawuf sebagai aliran mistisme Islam. Namun sayangnya
penilaian seperti itu sama sekali mengabaikan esensi tasawuf itu sendiri,
yakni: refleksi dan pembersihan hati dan jiwa, dengan cara melepaskan diri dari
godaan-godaan duniawi.
Sepanjang
pengetahuan saya selama bergaul dengan kalangan yang mendalami tasawuf ini,
menurut mereka memang benar adanya bahwa ketika seseorang telah mencapai taraf
zuhud dimana hati dan jiwanya sudah benar-benar bersih serta tidak terikat dan
terpenjara dengan keduniawian, akan sangat banyak rahasia-rahasia yang
dibukakan oleh Tuhan kepadanya. Termasuk hal-hal yang nyata namun tersembunyi
dari indera orang awam atau, dengan kata lain, hal-hal gaib/mistis.
Namun semua itu
sama sekali bukanlah tujuan dari seorang sufi yang sebenarnya. Jika ada
seseorang yang mendalami tasawuf namun berhenti pada taraf di atas (maksudnya
dengan tujuan untuk menguasai ilmu-ilmu gaib), maka sesungguhnya ia sudah gagal
dalam perjalanannya menuju Tuhan.
Seorang sufi
bukanlah klenik. Bukan pula seorang dukun, ahli nujum/sihir dan berbagai
tuduhan lain yang sering dialamatkan kepadanya dari orang-orang yang, entah
sengaja atau tidak, abai terhadap dia dan apa yang sebenarnya dia lakukan.
Esensi seorang
sufi adalah seorang hamba Tuhan yang memilih untuk melepaskan ketergantungan
terhadap dunia demi meraih cintaNya.
Mohon maaf
karena saya sampai menguraikan panjang lebar seperti ini, tapi penjelasan di
atas ini semata-mata diniatkan untuk memberi gambaran mengenai sufi dan tasawuf
yang sangat sering disalah artikan.
Selanjutnya,
mohon dipahami bahwa saya menuliskan ini semua bukanlah karena saya seorang
sufi —jauh dari itu, karena saya masih sangat terikat kepada kesenangan dan
pengharapan duniawi. Saya hanya seseorang yang memiliki ketertarikan tinggi dan
pernah sedikit mempelajari tasawuf di masa silam.
Mengenai adanya
pihak-pihak yang membenci tasawuf dan menilainya sebagai ajaran sesat, itu
cerita lama. Bahkan di abad-abad ke-10 dan 11 Masehi pun, pertentangan ini
sudah ada.
Saya melihatnya
karena kalangan tersebut hanya melihat ‘kulit’ dan bukan esensi dari
tindakan-tindakan Erdogan. Pemimpin Turki itu menampilkan dirinya sebagai
penerus spiritual dinasti Utsmaniyah/Ottoman dimana masih banyak orang di sini
yang menilainya sebagai “kekhalifahan terakhir umat Islam” yang “dihancurkan
oleh kekuatan-kekuatan Barat dan Kristen serta Yahudi” di awal abad ke 20.
Saya sengaja
membedakan antara kekhalifahan (caliphate) dengan dinasti. Karena dalam
perspektif saya selama mempelajari sejarah Islam dari sejumlah sumber,
kekhalifahan dalam bentuk yang sesungguhnya hanyalah dalam masa pemerintahan 4
sahabat-sahabat terdekat nabi Muhammad SAW selepas wafatnya. Masa-masa ini
—yang disebut sebagai masa Khulafa-ur Rashidin (para khalifah/pemimpin teladan)
dalam tradisi Islam sunni— adalah masa-masa dimana tongkat estafet kepemimpinan
umat tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan melainkan dengan asas
meritokrasi yang dipilih dengan cara musyawarah-mufakat.
Terjadinya
pertikaian berdarah untuk merebut kekuasaan dari khalifah terakhir yakni Ali
bin Abi Thalib oleh Muawiyah di tahun 661, membuat makna kekhalifahan menjadi
hanya dalam nama setelah Muawiyah menurunkan gelar khalifah ke anaknya, yang
mengawali masa kekhalifahan (dinasti) Umayyah…
…yang menjadi
model bagi “kekhalifahan-kekhalifahan” selanjutnya: Abassiyah, Fatimiyyah dan
seterusnya hingga Utsmaniyah (Ottoman).
Semua ini
sebenarnya tidak secara langsung berhubungan dengan kebencian yang diarahkan
kepada kaum sufi dan perspektif tasawuf. Tapi karena para sufi seringkali
adalah orang-orang yang memiliki pemikiran yang kritis, maka kalangan ini
sering dianggap sebagai batu penghalang bagi mereka yang berpandangan bahwa
Erdogan adalah model pemimpin ideal bagi umat Islam.
Padahal, menurut
hemat saya, antara Erdogan atau bani Saud yang masing-masing lebih mengutamakan
etnis Turki atau Arab dengan mengatas-namakan umat Islam (sunni) sedunia,
keluarga kerajaan Yordania yang merupakan keturunan bani Hashim —klan nabi
Muhammad SAW— lebih layak untuk dijadikan teladan.