x9iXyGPMXQeKKlpX8lac8UjwJ5Wv9XduLyNcwRkJ

Sufisme Yang Dibenci dan Kaitannya Pada Pemerintahan Erdogan Turki

Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya 

Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Sufi adalah sebutan untuk orang-orang yang mendalami tasawuf. Tasawuf atau sufisme sendiri, bagi kalangan yang mendalaminya, bukanlah suatu hal yang terpisah dari ajaran Islam karena banyak sufi-sufi ternama di abad-abad pertengahan dulu yang juga adalah ulama (orang berilmu), yang banyak menghasilkan karya-karya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan.

Bila dibandingkan dengan fikih (dalam pemaknaannya sebagai hukum-hukum Islam yang tertulis), yang berlaku secara fisik, maka tasawuf diibaratkan sebagai “fikih bathin”. Jika fikih memberikan aturan dan hukuman bagi tindakan-tindakan yang melanggar hukum-hukum Islam, maka tasawuf mengatur dan memberikan sangsi terhadap niatan-niatan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran itu.

Tentu saja, analogi di atas adalah analogi yang sangat disederhanakan untuk memberikan gambaran awal bagi kalangan awam yang ingin tahu apa yang sebenarnya diajarkan dalam tasawuf, yang saya rasa masih cukup sesuai untuk dituliskan di sini.


Lebih lanjut, banyak yang memandang tasawuf sebagai aliran mistisme Islam. Namun sayangnya penilaian seperti itu sama sekali mengabaikan esensi tasawuf itu sendiri, yakni: refleksi dan pembersihan hati dan jiwa, dengan cara melepaskan diri dari godaan-godaan duniawi.

Sepanjang pengetahuan saya selama bergaul dengan kalangan yang mendalami tasawuf ini, menurut mereka memang benar adanya bahwa ketika seseorang telah mencapai taraf zuhud dimana hati dan jiwanya sudah benar-benar bersih serta tidak terikat dan terpenjara dengan keduniawian, akan sangat banyak rahasia-rahasia yang dibukakan oleh Tuhan kepadanya. Termasuk hal-hal yang nyata namun tersembunyi dari indera orang awam atau, dengan kata lain, hal-hal gaib/mistis.

Namun semua itu sama sekali bukanlah tujuan dari seorang sufi yang sebenarnya. Jika ada seseorang yang mendalami tasawuf namun berhenti pada taraf di atas (maksudnya dengan tujuan untuk menguasai ilmu-ilmu gaib), maka sesungguhnya ia sudah gagal dalam perjalanannya menuju Tuhan.

Seorang sufi bukanlah klenik. Bukan pula seorang dukun, ahli nujum/sihir dan berbagai tuduhan lain yang sering dialamatkan kepadanya dari orang-orang yang, entah sengaja atau tidak, abai terhadap dia dan apa yang sebenarnya dia lakukan.

Esensi seorang sufi adalah seorang hamba Tuhan yang memilih untuk melepaskan ketergantungan terhadap dunia demi meraih cintaNya.

Mohon maaf karena saya sampai menguraikan panjang lebar seperti ini, tapi penjelasan di atas ini semata-mata diniatkan untuk memberi gambaran mengenai sufi dan tasawuf yang sangat sering disalah artikan.

Selanjutnya, mohon dipahami bahwa saya menuliskan ini semua bukanlah karena saya seorang sufi —jauh dari itu, karena saya masih sangat terikat kepada kesenangan dan pengharapan duniawi. Saya hanya seseorang yang memiliki ketertarikan tinggi dan pernah sedikit mempelajari tasawuf di masa silam.

Mengenai adanya pihak-pihak yang membenci tasawuf dan menilainya sebagai ajaran sesat, itu cerita lama. Bahkan di abad-abad ke-10 dan 11 Masehi pun, pertentangan ini sudah ada.

Saya melihatnya karena kalangan tersebut hanya melihat ‘kulit’ dan bukan esensi dari tindakan-tindakan Erdogan. Pemimpin Turki itu menampilkan dirinya sebagai penerus spiritual dinasti Utsmaniyah/Ottoman dimana masih banyak orang di sini yang menilainya sebagai “kekhalifahan terakhir umat Islam” yang “dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan Barat dan Kristen serta Yahudi” di awal abad ke 20.

Saya sengaja membedakan antara kekhalifahan (caliphate) dengan dinasti. Karena dalam perspektif saya selama mempelajari sejarah Islam dari sejumlah sumber, kekhalifahan dalam bentuk yang sesungguhnya hanyalah dalam masa pemerintahan 4 sahabat-sahabat terdekat nabi Muhammad SAW selepas wafatnya. Masa-masa ini —yang disebut sebagai masa Khulafa-ur Rashidin (para khalifah/pemimpin teladan) dalam tradisi Islam sunni— adalah masa-masa dimana tongkat estafet kepemimpinan umat tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan melainkan dengan asas meritokrasi yang dipilih dengan cara musyawarah-mufakat.

Terjadinya pertikaian berdarah untuk merebut kekuasaan dari khalifah terakhir yakni Ali bin Abi Thalib oleh Muawiyah di tahun 661, membuat makna kekhalifahan menjadi hanya dalam nama setelah Muawiyah menurunkan gelar khalifah ke anaknya, yang mengawali masa kekhalifahan (dinasti) Umayyah…

…yang menjadi model bagi “kekhalifahan-kekhalifahan” selanjutnya: Abassiyah, Fatimiyyah dan seterusnya hingga Utsmaniyah (Ottoman).

Semua ini sebenarnya tidak secara langsung berhubungan dengan kebencian yang diarahkan kepada kaum sufi dan perspektif tasawuf. Tapi karena para sufi seringkali adalah orang-orang yang memiliki pemikiran yang kritis, maka kalangan ini sering dianggap sebagai batu penghalang bagi mereka yang berpandangan bahwa Erdogan adalah model pemimpin ideal bagi umat Islam.

Padahal, menurut hemat saya, antara Erdogan atau bani Saud yang masing-masing lebih mengutamakan etnis Turki atau Arab dengan mengatas-namakan umat Islam (sunni) sedunia, keluarga kerajaan Yordania yang merupakan keturunan bani Hashim —klan nabi Muhammad SAW— lebih layak untuk dijadikan teladan.