Dampak Hambatan
Pendengaran Terhadap Perkembangan Bicara dan Bahasa
Perkembangan
bahasa dan bicara sangat berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat
terbatasnya ketajaman pendengaran, anak dengan hambatan pendengaran tidak mampu mendengar dengan baik.
Secara fisik anak
dengan hambatan pendengaran tidak berbeda
dengan anak normal pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak
mengetahui bahwa anak yang menyandang hambatan pendengaran pada saat berbicara,
mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas
artikulasinya, atau tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.
Anak dengan
hambatan pendengaran bukan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara,
lebih dari itu dampak paling besar adalah terbatasnya kemampuan berbahasa (Van
Uden, 1977; Meadow, 1980). Leigh (1994; dalam bunawan, 2004) mengemukakan bahwa
masalah utama anak dengan hambatan pendengaran bukan terletak pada tidak
dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan, melainkan akibat hal tersebut
terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu mereka
tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa. Secara lebih
spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang/kode atau ‘nama’ yang
digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa kegiatan, dan
perasaan serta tidak memahami aturan/sistem/tata bahasa. Keadaan ini terutama
dialami anak dengan hambatan pendengaran yang mengalami ketulian sejak lahir
atau usia dini (tuli prabahasa).
Dampak
langsung dari anak dengan hambatan
pendengaran
adalah terhambatnya komunikasi verbal atau lisan, baik secara ekspresif
(berbicara) maupun reseptif (memahami pembicaraan orang lain), sehingga sulit
berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang lazim menggunakan bahasa
verbal sebagai alat komunikasi. Hambatan dalam berkomunikasi tersebut,
berakibat juga pada hambatan dalam proses pendidikan dan pembelajaran anak
tunarungu. Namun demikian anak dengan hambatan pendengaran memiliki potensi untuk belajar berbicara
dan berbahasa. Oleh karena itu anak dengan hambatan
pendengaranmemerlukan
layanan khusus untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan berbicara, sehingga
dapat meminimalisi dampak dari hambatan pendengaran yang dialaminya. Misalnya
dengan adanya bahasa isyarat dan bahasa oral (pemvokalan) sebagai media
komunikasi anak dengan hambatan pendengaran.
Mengembangkan kemampuan Bahasa anak dengan hambatan
pendengaran
Dalam
mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak dengan hambatan pendengaran, kita
perlu memahami perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar dan juga yang
terjadi pada anak dengan hambatan pendengaran. Myklebust (1963) menerapkan
pencapaian perilaku berbahasa. Berhubung pada masa itu teknologi pendengaran
belum berkembang, maka anak dengan hambatan pendengaran dipandang tidak/kurang
memungkinkan memperoleh bahasa melalui visual atau taktil kinestetik, atau
kombinasi keduanya. Dengan demikian tersedia tiga alternative, yaitu: isyarat,
membaca, dan membaca ujaran.
Myklebust menganggap media membaca ujaran
merupakan pilihanyang tepat dibanding isyarat dan membaca. Dengan kemajuan
teknologi pendengaran saat ini, maka sisa pendengarannya dapat dioptimalkan
untuk menstimulasi anak dengan hambatan pendengaran dalam perolehan bahasa.
Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batin anak dengan
hambatan pendengaran, kita dapat melatih anak untuk menghubungkan pengalaman
yang diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang
dengar yang menggunakan alat bantu dengar, dapat menghubungkannya dengan
lambang bunyi bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak dengan hambatan
pendengaran mulai memahami hubungan antara lambang bahasa (visual &
auditori) dengan benda atau kejadian sehari-hari, sehingga terbentuklah bahasa
reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak mendengar, kemampuan bahasa
ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah memiliki kemampuan bahasa
reseptif. Selanjutnya anak dengan hambatan pendengaran dapat mengembangkan kemampuan
bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis).
Demikian perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak dengan hambatan
pendengaran.
Pada
umumnya, anak dengan hambatan pendengaran memasuki sekolah tanpa/kurang
memiliki kemampuan berbahasa verbal, berbeda dengan anak mendengar yang
memasuki sekolah setelah memperoleh bahasa. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak
dengan hambatan pendengaran, proses pemerolehan bahasa diberikan di sekolah
melalui layanan khusus.
Layanan
pemerolehan bahasa tersebut menekankan pada percakapan, seperti halnya percakapan
yang terjadi antara anak mendengar dengan ibunya/orang terdekatnya dalam pemerolehan
bahasa, dengan memperhatikan sensori yang dapat diberikan stimulasi. Percakapan
merupakan kunci perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead,1982). Oleh
karena itu, tugas guru SLB/B adalah mengantarkan anak dengan hambatan pendengaran
dari masa prabahasa menuju purnabahasa melalui percakapan dan bersifat alamiah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Van Uden telah mengembangkan metode pengembangan
bahasa melalui percakapan, yang dikenal dengan Metode Maternal Reflektif (MMR).
Metode
ini memiliki ciri bahwa percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu
bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta menerapkap
metode tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda maksudnya adalah
bahwa ibu atau orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian membahasakannya
serta menanggapi ungkapan tersebut, sehingga tercipta suatu percakapan.
Mengembangkan kemampuan Berbicara anak dengan
hambatan pendengaran
Pengembangan
kemampuan berbicara merupakan serangkaian upaya agar anak memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap untuk mengekspresikan pikiran, gagasan,dan perasaanya
dengan cara berbicara. Dalam pelaksanaanya, layanan bina bicara, meliputi:
latihan prabicara, latihan pernafasan, latihan pembentukan suara, pembentukan
fonem, penggemblengan, pembetulan, serta penyadaran irama/aksen dan pengembangan.
Lebih
lanjut, Nugroho (2004) mengemukakan bahwa materi yang diajarkan dalam layanan
bina bicara, meliputi: meteri fonologik (fonem segmental dan suprasegmental); materi
morfologik (kata dasar, kata jadian, kata ulang dan kata majemuk);
materisintaksis (kalimat berita, ajakan, perintah, larangan dan kalimat tanya);
serta materisistematik.