Perkembangan
Emosi Anak dengan Hambatan Penglihatan
Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Salah satu
variabel determinan perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu
perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mengalami emosi.
Sedangkan variabel lainnya ialah stimulus atau rangsangan yang menimbulkan
emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan emosi yang datang dari
lingkungannya.
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan sedikit hambatan dibandingkan dengan anak yang awas.
Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak
tunanetra dalam proses belajarnya. Kesulitan bagi anak tunanetra ialah tidak
mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus
diberi respon emosionalserta respon-respon apa saja yang diberikan terhadap
stimulius-stimulus tersebut.
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana
anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman
emosi yang menyenagkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan
kesenangan. Perkembangan deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap
aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik,
motorik, bicara, intelktual, dan sosialnya. Disamping itu, ada kecenderungan
bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi
emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat
menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang
disekitarnya.
Masalah-masalah
lain yang sering muncul dan dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra
adalah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola
emosi yang negatif dan berlebihan. Semua ini terutama berpangkal pada
ketidakmampuan atau keterbatasannya dalam penglihatan serta
pengalaman-pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya.
Beberapa gejala pola emosi yang negatif dan berlebihan tersebut adalah perasaan
takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang
berlebihan.
Perasaan takut
yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan meningkatnya
kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian kritis terhadap
lingkungannya. Ketidakmampuannya dalam melihat mengakibatkan ia tidak mampu
menditeksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan bahaya yang dapat mengancam
keselamatannya. Akibatnya anak tunanetra cenderung memiliki perasaan dan
bayangan adanya bahaya yang jauh lebih banyak dan jauh lebih besar dibanding
dengan orang awas. Kondisi ini diperberat dengan ketidakmampuannya atau keterbatasannya dalam menghadapi atau
menghindar dari bahaya tersebut, apalagi jjika bahaya tersebut datang secara
tiba-tiba, serta pengalamannya dalam
melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya yang begitu banyak dihadapkan pada
berbagai resiko. Kita sendiri dapat membayangkan bagaimana takutnya berada
dalam situasi yang penuh kegelapan, walaupun kita memiliki kemampuan dan
pengalaman utuk menghindari atau menghadapi bahaya yang mungkin datang.
Sekalipun anak
tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasan malu seringkali
menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki dunia yang masih asing
baginya. Sifat ini sering kali disebabkan karena keluarbiasaanya serta sebagai
reaksi terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian reaksi orang lain terhadap
diri dan perilakunya. Sedangkan perasaan khawatir dan cemas seringkali
menghinggapi anak tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau
keterbatasan dalam memprediksikan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi di lingkungannyadan menimpa dirinya. Sedangkan persaan iri hati
biasanya muncul karena kurang atau hilangnya kasih sayang dari lingkungannya.
Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi lingkungan terhadap dirinya yang
ternyata diperlakukan secara berbeda karena kecacatannya.