x9iXyGPMXQeKKlpX8lac8UjwJ5Wv9XduLyNcwRkJ

Hukum Internasional Dalam Sudut Pandang Sejarawan dan Ilmuan muslim

Ingin Link Grup Whatsapp Anda Disini, Klik Contact Ya
Ingin Nambah Subscribe, Klik Contact Ya 

Ingin Nambah Follower IG, Klik Contact Ya
Dalam menguraikan sejarah perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad kelima belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan dan kerajaan-kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan sejarah hukum internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh dari Eropah Barat,
setelah perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat, seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.

Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.

Tidak banyak terungkapkan tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa silam, khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya publikasi terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie  (1981), seorang yang menulis "Islam and International Forces " mengemukakan bahwa segala peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3 Hijrah - termasuk periode Harun Al-Rasyid - tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk pemikiran tentang kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal suatu imperium yang mempunyai wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi dengan dunia luar? la mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul "Themes of Islamic Civilization " (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden Williams ternyata meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut, Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek studi sampai sekarang.

Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian:
Pertama, fenomena umum tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban Islam dalam membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum hukum internasional adalah konsep Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki persepsi sendiri.

Kedua, apabila menyelidiki tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti:
Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya "Madinatu'l Fadilah" yang diterjemahkan menjadi Negara Utama (Model State).
Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads 370-428 H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya "Siyasatu `rrajul" yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State).
Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya "Siyasat ul Akhlaq " yang terkenal dinamakan Negara Akhlak (Ethical State).
Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol), yang hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya "Al Jumhuriyah wa'I Ahkam ", yang secara populer dinamakan pula "Negara Demokrasi" (Democtratic State).
Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog­politikus yang terkenal dengan teorinya "Al Ashabiyah wa'1­Igtidad " yang lebih populer dengan "Negara Persemakmuran" (Welfare State).

Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah "Madinatu'1 Fadilah" yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.:
Pertama, Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional
Kedua, Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
Ketiga, Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)

Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara yang disebut "Madinah Kamilah".

Bertolak dari pemikiran Hamed A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di kalangan para ilmuwan dan para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi hukum internasional telah dikenal bahwa St. Thomas Aquino (1226­1274) dianggap telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara Dunia. Bahkan dalam buku "Indonesia dan Hubungan Antarbangsa" yang ditulis oleh Sumarsono Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam hubungan dan hukum internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata St. Thomas Aquinas adalah murid yang setia dari Al Farabi dan pengikut dalam Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian adalah berasal dari faham Kamilah 'Uzma Al Farabi.

Sebagai seorang filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari oleh ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur' an. Di dalam Kitab Suci ini telah dikemukakan 5 prinsip hidup dalam lingkungan masyarakat internasional, yakni:
Pertama, Tentang asal kejadian manusia dari kejadian yang lama (Cre­ation of mankind from the same couple) yang tertera dalam QS An Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13.
Kedua, Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.
Ketiga, Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.
Keempat, Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.
Kelima, Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69

Post a Comment